Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seberapa Jauh Kau Mampu Berlari?

26 Januari 2010   10:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Devy melirik jam di sudut kiri notebook-nya dan sedikit tercekat ketika melihat waktu sudah menjelang pagi tanpa disadarinya. Terlalu banyak tugas yang harus diselesaikannya dan beberapa jam lagi harus ia persentasekan di depan kelas. Ini yang ketiga kali ia harus mengerjakan pekerjaan yang sama. Dua kali sebelumnya pekerjaannya ditolak mentah-mentah dosennya karena dinilai sangat mentah dan tak berjiwa.

"Mungkin kalian memiliki talent yang perfect tapi semua tetap harus kembali ke sini," ujar dosennya pagi tadi sambil menunjuk ke bagian ulu hatinya sendiri. Meski saran itu disampaikan di depan kelas ke semua siswa kursus itu yang berjumlah 20 orang, namun ia merasa diirnya lah yang menjadi sasaran kritik itu.

Dosennya, seorang professor berusia 50 tahun memang dikenal sebagai Mr Perfect karena baginya tak pernah ada yang sempurna dari yang dikerjakan mahasiswanya. Ia tak mengenal 'sangat bagus' ketika menilai pekerjaan mahasiswanya. Paling tinggi penilaiannya adalah 'cukup' atau 'lumayan', selebihnya ia akan berkata 'hancur' atau 'sampah'. Suatu kali bahkan ia pernah berkata dengan nada yang sangat menyakitkan 'bahkan pelacur di jalanan pun mampu membuat seperti ini!'. Apa hubungannya pelacur jalanan dengan desain baju?

Paris memang selalu menjadi impiannya sejak kecil. Menurut mamanya, ketika bayi dulu, ketika ia baru belajar mengeja kata-kata, kata yang sering diucapkannya adalah 'Paris'. Koq bisa mam? Tanyanya penasaran. Papa kamu kan namanya Aris, jadi kalau manggil papa kamu papa Aris, sering terdengar seperti kata 'Paris'.

Ia sering tertawa ketika mendengar joke dari mamanya yang memang senang melucu. Dan di sinilah sekarang: Paris. Tempat dimana Papa Aris, papanya tercinta, meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang konon dibajak oleh teroris.

Dua bulan sudah ia menetap di kota mode itu, dan dua bulan lamanya ia terpisah dari Kris, pacarnya, sahabatnya, seseorang yang benar-benar mampu memahami dirinya bahkan lebih dari dirinya sendiri.

Lima bulan lalu mereka di sebuah restoran pinggir pantai ketika ia becerita tentang joke mamanya akan keterkaitannya dengan Paris. Bukanlah sebuah kebetulan ia sering memanggil papanya ‘Paris' di kala masih bayi, dan ternyata di tempat itulah papanya menemui ajalnya. Mungkin itu petanda, kata mamanya suatu ketika.

"Ini mungkin sebuah petanda." Kris juga mengucapkan hal yang sama dengan apa yang mamanya katakan, meski mereka punya sudut pandang yang berbeda.

"Maksud kamu?" terheran-heran dengan kesamaan kalimat mamanya dengan yang Kris katakan.

"Ini mungkin sebuah petanda bahwa Paris lah dimana hidupmu harus bermula. Kenapa kamu nggak ke sana aja dan mencari tahu apa yang sebenarnya hidup harapkan dari dirimu."

"I don't undestand."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun