Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menengok Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sidrap

12 April 2010   04:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika pengelolaan hutan kerap menimbulkan konflik antara masyarakat dan pemerintah, maka hal ini tidak berlaku di Kab Sidrap. Setidaknya ini tercermin dari pengalaman pengelolaan hutan berbasis masyarakat di daerah penghasil beras ini, antara lain di Betao Riawa, Cinreanging, Sando Batu, Paraja dan Bulu Dua.
Di sejumlah daerah yang berada di kawasan hutan lindung ini, masyarakat bahkan tengah mengembangkan pertanaman hortikultura. Misalnya, di Desa Betao Riawa, Kecamatan Pituriawa, luas lahan yang dikelola masyarakat sebagai kebun buah-buahan mencapai ± 800 ha.
Pertanaman hortikultura yang dikelola masyarakat di kawasan hutan lindung ini kini sedang dalam proses memperoleh ijin pengelolaan hutan dari Pemda Sidrap. Skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) yang ditawarkan adalah Hutan Kemasyarakatan (HKM).
Konsep ini awalnya sulit diterima oleh masyarakat. Menurut Basri Andang, aktivis LSM Yayasan Sahabat Masyarakat Sulawesi (SMS), dalam proses pendampingan yang dilakukannya awalnya sangat sulit, khususnya dalam membangun kesepamahaman dan kesepakatan dengan masyarakat, karena masyarakat bersikukuh lahan yang dikelolanya adalah tanah turun temurun leluhur mereka, namun diakui Basri, melalui proses pendampingan yang panjang akhirnya mereka  bersedia mengadopsi skema-skema yang ada baik HKM, Hutan Desa maupun Hutan Hak/Adat .
Kawasan hutan menurut Undang Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan juga termuat dalam peraturan turunannya adalah Wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah/Menteri Kehutanan untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Disebutkan pula dalam Undang undang itu bahwa kawasan hutan lindung diperuntukkan mencegah banjir, erosi dan longsor. Secara teknis yang digolongkan kawasan hutan lindung topografinya bergunung-gunung dengan  kemiringan lereng diatas 45%, curah hujan tinggi dan tanahnya mudah tererosi.
Menurut Basri, dengan adanya perubahan sikap dari masyarakat yang awalnya menentang ini, pemerintah seharusnya sudah mempersiapkan diri, terutama dalam hal pembentukan tim verifikasi agar hak kelola masyarakat lebih cepat diperoleh.
Upaya untuk memfasilitasi hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan Sulsel. Antara lain yang telah dilakukan adalah melalui pertemuan dengan Bupati dan Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energy Kabupaten Sidrap, termasuk Kepala-kepala Bidangnya. Dari pertemuan itu terungkap komitmen Pemda Sidrap untuk mendukung harapan-harapan masyarakat agar dapat mengelola kawasan hutan secara partisipatif. Apalagi, hal ini dinilai sebagai implementasi kebijakan PHBM dari institusi kehutanan yang sudah sejalan dengan OTODA. Kewenangan Pemda dalam hal ini adalah membuka akses pengelolaan hutan kepada masyarakat untuk mendorong peningkatan perannya. Hanya saja Bupati Sidrap berharap pembuat kebijakan juga harus terlibat tidak boleh lepas tangan karena dana yang tersedia sangat terbatas.
Dari hasil kunjungan Tim kecil Dinas Kehutanan Sulsel, yang sejumlah pejabat dari Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Sidrap di Desa Betao Riawa, Kecamatan Pituriawa, Jumat (09/04), terlihat betapa besarnya antusiasme masyarakat dan penerimaan mereka atas konsep pengelolaan hutan yang ditawarkan. Masyarakat terlihat sangat senang dengan kunjungan tersebut, dimana mereka bisa berinteraksi menyampaikan harapan-harapannya. Pihak Dinas Kehutanan Sulsel juga menyampaikan kesan-kesan dan peraturan yang terkait dengan harapan masyarakat tersebut. Melalui pertemuan singkat ini terlihat kesan betapa besar keterkaitan antara masyarakat dengan hutan yang tidak bisa dipisahkan satu sama yang lain, begitu pula pemerintah dengan masyarakatnya, yang juga saling membutuhkan. Kalau masyarakat tidak menjaga atau memelihara hutan, maka hutan akan merana atau menurun kualitas dan kuantitasnya. Di lain pihak kalau masyarakat tidak punya hutan atau kebun, maka tidak ada pekerjaan atau penghasilannya. Demikian pula dengan pemerintah tanpa masyarakat dan hutan maka tidak ada urusan yang membuatnya berarti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun