Menjelang pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah di Indonesia Masjid tiba-tiba menjadi populer. Ibarat di Twitter, Masjid kini menjadi trending topic karena tiba-tiba ramai dibicarakan politisi dan paling parah lagi DIBAJAK.
Masih segar diingatan kita kasus Rhoma Irama yang menjadikan kutbahnya sebagai media kampanye menolak pasangan Jokowi – Ahok di Jakarta. Itu hanya permukaan saja, dan menjadi heboh karena dilakukan oleh public pigur sekaliber Rhoma Irama.
Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta terkait profil Masjid di Solo dan Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya segmentasi Masjid berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Kategorinya antara lain Masjid NU, Muhammadiyah, Pemerintah, Independen, Wahdah, dan kelompok-kelompok keagamaan tertentu lainnya.
Adanya perbedaan afiliasi pengurus ini nantinya akan berpengaruh pula pada pemilihan khatib serta materi kutbahnya dan bahkan sampai pada tingkat tertentu juga faham fiqih ubudiyahnya (ibadah) dan jemaah tetapnya.
Komaruddin Hidayat dalam tulisannya berjudul “Kutbah yang Menggelisahkan” menggambarkan kerisauan dan kegundahannya betapa Masjid atau kutbah di Masjid tidak lagi bertujuan menenangkan hati dan pikiran, tetapi malah menggelisahkan jemaah. Jemaah yang sejatinya ingin mendapatkan pencerahan dari kutbah di masjid malah hanya disuguhi kutbah-kutbah provokasi penuh kebencian pada orang dan kelompok tertentu. Itulah salah satu alasan kemudian banyak orang yang ketika sholat jumat cenderung menghindari sesi kutbah, padahal kutbah sebenarya adalah salah satu bagian dari ruku Jumat yang utama.
Menurut Komaruddin, menjelang pemilu dan pilkada memang telah terjadi kecenderungan dimana forum dan mimbar jumat sering dibajak untuk kampanye terselubung. Meski berhati-hati menggunakan kata “dibajak”, namun menurutnya memang seperti itulah yang terjadi, yaitu penyalahgunaan mimbar ibadah untuk tujuan politik golongan. Terlebih lagi jika pengurus masjid memiliki afiliasi kuat dengan partai politik atau kekuatan politik tertentu. Memang, lanjut Komaruddin, mimbar di Masjid strategis untuk kampanye dan melakukan indoktrinsasi, salah satunya karena khatibnya merupakan pembicara tunggal yang tidak boleh diiterupsi dan menjawab pertanyaan.
Momentum politisasi masjid ini mendapatkan tempatnya di bulan puasa. Parahnya lagi ketika adanya mobilisasi ustadz penceramah di masjid dengan misi mengkampanyekan figur tertentu dan memburuk-burukan figur yang lain. Yang terjadi kemudian bukan lagi ‘pembajakan’ masjid namun telah menjadi pembajakan agama, agama dijadikan alat perjuangan untuk kepentingan pribadi secara politis, bukan pada kepentingan umat secara umum. Dan yang jauh lebih parah lagi ketika banyak politisi yang tiba-tiba beralih profesi jadi ustadz, dan dengan peran barunya itu ia memilik akses yang lebih besar untuk ‘menguasai’ mimbar di masjid.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H