Pakar kakao dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin membeberkan sejumlah masalah penyebab turunnya produksi kakao di Indonesia,khususnya di Sulawesi Selatan, dalam Focus Group Discussion bertajuk mengembalikan kejayaan kakao Sulsel, di gedung PKP Unhas, Sabtu (27/10/2018).
"Menjadi masalah utama adalah tingginya serangan hama penyakit seperti Penggerek Buah Kakao (PBK) dan busuk buah yang merusak pertanaman kakao. Petani kemudian menggunakan insektisida yang tak cocok dengan tanaman kakao. Ini mengakibatkan kerusakan ekologi kebun secara luas," ungkap Nasaruddin Badar, pakar budidaya kakao dari Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya pelatihan, namun tidak memberi dampak signifikan karena sebagian besar petani sendiri tidak mengaplikasikannya di kebun.
"Pelatihan telah sering dilakukan namun ternyata tidak diaplikasikan oleh petani ketika mereka sudah di kebun. Petani tidak bisa mengolah kebunnya seperti yang diajarkan. Di sisi lain, tak ada kehadiran penyuluh di lapangan. Para penyuluh kebanyakan merupakan penyuluh tanaman pangan, sementara tanaman kakao memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanaman pertanian lainnya,"Â
Masalah lainnya adalah pengelolaan kebun dengan sistem buruh mengakibatkan pengelolaan kebun tidak maksimal karena ketidakhadiran petani pemilik lahan dalam mengawasi pengelolaan kebunnya.Â
"Banyak pekerja kebun bukan petani terlatih, namun hanya mandor atau pekerja kakao yang hanya berpikir bagaimana pekerjaan selesai tanpa melihat efektivitas pekerjaannya."
Nasruddin juga menyoroti penggunaan herbisida secara berlebihan yang justru merusak ekosistem kakao, termasuk membunuh predator alami.Â
"Untuk mengatasi hal ini maka penting untuk dilakukan pengelolaan kebun secara organik, tidak lagi mengandalkan bahan- bahan kimiawi.
Ade Rosmana, pakar hama penyakit dari Fakultas Pertanian Unhas, menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi menjadi hambatan utama pertumbuhan kakao.Â
"Fusarium yang banyak berkembang sehingga menyebabkan banyaknya kematian pada tanaman kakao," Katanya.
Ia mengusulkan perlu adanya percepatan pengelolaan OPT kakao melalui penggunaan bahan organik dan mikroorganisme.Â