Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Accaru-caru, Ritual Leluhur yang Masih Dipraktikkan Nelayan di Galesong

24 Maret 2018   15:19 Diperbarui: 24 Maret 2018   20:37 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perahu fiber baru saja selesai dicat. Butuh waktu sekitar dua minggu bagi pemiliknya, Gassing Karawe, untuk melengkapi dan mengecat seluruh bagian perahu, termasuk memberi nama perahunya Nabila, sesuai dengan nama cucunya. Pagi itu, pertengahan April 2017, adalah hari yang baik untuk digunakan untuk pertama kali. Sebuah ritual pun dilakukan, yang dinamakan accaru-caru.

Accaru-caru atau accera turungang adalah ritual leluhur yang masih dipraktikkan nelayan di Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ketika perahu baru saja diperbaiki atau untuk perahu baru yang akan segera digunakan. Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun atau paccaru-paccaru bernama Daeng Lallo. Paccaru-caru biasanya adalah orang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan doa-doa leluhur yang baik.

Accaru-caru bisa diartikan sebagai kenduri atau baca doa di mana di atas perahu diletakkan beragam pakrappo atau sesajen. Jenisnya beragam macam, mulai dari unti tekne (pisang raja), bajao jangang (telur ayam), songkolo le'leng (nasi ketan hitam), songkolok kebok (nasi ketan putih), umba-umba(onde-onde), kulapisik (kue lapis), lekok (daun sirih) dan rappo (buah pinang).

Dua ekor ayam, jantan dan betina disembelih dan diletakkan di depan perahu. Perahu diberi minyak yang sangat harum. Di bagian belakang, seorang sanro atau sesepuh berdoa. Orang-orang berdiri, termasuk pemilik perahu, berdiri dengan khusyuk di sekelilingnya.

Setelah dupa dinyalakan dan doa-doa dibacakan, sanro kemudian melanjutkan ritual dengan cara memaku bagian depan perahu dengan uang koin. Di bagian tengah dipahat lalu dimasukkan besi tipis semacam jarum hingga menyatu dengan bagian pusat atau posi perahu. 

Di bagian belakang juga dipahat lalu dimasukkan koin. Setelah semuanya berakhir, acara pun selesai, beragam makanan yang disajikan di bagian tengah perahu diambil secara berebutan oleh yang hadir di sekitar perahu. Semacam berkah bagi mereka. Setelah itu, perahu itu lalu diangkat oleh sekitar lima orang ke laut. Karena terbuat dari bahan fiber, pemindahan perahu ke laut ini tak butuh waktu dan tenaga yang banyak. Jarak antara tempat ritual dan garis pantai pun hanya beberapa puluh meter saja.

Menurut Daeng Tobo, seorang Papalele di Desa Tamalate, Galesong Utara, accaru-caru adalah ritual wajib dipenuhi oleh setiap nelayan yang baru saja akan memulai melaut. Tak boleh tidak, katanya. Semacam persembahan bagi 'pemilik laut', entah makhluk halus, roh-roh suci yang diharapkan akan memberi keselamatan atau tidak mengganggu nelayan ketika melaut. Mereka, makhluk-makhluk halus itu punya nama, yang telah diketahui nelayan, namun Daeng Tobo, enggan atau mungkin takut menyebutkannya.

"Ada namanya, anak-anak juga sudah tahu, tapi tak usah saya sebutkan," katanya sambil tertawa.

Accaru-caru ini bisa disamakan dengan ritual atompolok' atau menaruh ramuan obat di atas ubun-ubun anak. Dengan acara ini mereka mengharapkan agar makhluk halus yang berada di sekitarnya tidak mengganggu si anak, malah ikut menjaganya.

Accaru-caru hanya satu dari sekian banyak ritual bagi nelayan Galesong atau suku Makassar pada umumnya. Di waktu tertentu nelayan juga akan membawa sesajen ke pantai, batas antara laut dan daratan. Kadang juga dibawa ke tengah laut yang dianggap memiliki 'penunggu'. Di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker di tengah laut, di sanalah sesajen itu dipersembahkan dengan cara dialirkan ke laut.

Terlepas dari tujuan atau kepada siapa sesajen itu ditujukan, menurut Tadjuddin Maknun, pakrappo atau sesajen yang disajikan dalam ritual caru-caru itu sebenarnya punya makna tertentu.

Dicontohkan pada makanan umba-umba (onde-onde), yang terbuat dari beras ketan dan dibentuk seperti bola pingpong yang berisi gula merah dan diberi kepala muda yang telah diparut.

"Kue-kue ini selalu muncul ke permukaan air ketika sudah masak. Itulah sebabnya kue ini selalu dijadikan simbol atau lambang harapan dalam setiap hajatan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, benda ini sebagai lambang harapan agar rezekinya selalu muncul sebagaimana sifat umba-umba tersebut," ungkap Tadjuddin.

Sesajen lain, yang diistilahkan Tadjuddin sebagai benda budaya, adalah kulapisik (kue lapis). Makanan ini terbuat dari beras tepung ketan, santan, gula pasir dan pewarna. Dalam pembuatan sengaja dibuat berlapis-lapis.

"Maknanya bahwa sebagai lambang harapan agar rezeki mereka akan berlapis-lapis sebagaimana ditunjukkan oleh sifat atau bentuk kue tersebut."

Ada juga unti tekne (pisang raja), sejenis pisang yang sangat manis rasanya. Makna keberadaannya dalam ritual adalah agar nelayan selalu memperoleh kesejahteraan lahir dan batin dalam menjalankan aktivitas sebagaimana rasa manis dari pisang tersebut.

Benda budaya lain adalah lekok (sirih), bayao jangang (telur ayam), rappo (buah pinang) dan dupa.Kelima macam benda budaya tersebut merupakan perangkat sesajen yang berfungsi sebagai lambang atau simbol penghormatan kepada roh leluhur dan makhluk lainnya.

"Roh leluhur harus dihormati karena justru merekalah yang memberi pengetahuan pelayaran sebagai bekal diri dalam menjalankan aktivitas di laut lepas. Begitu pula makhluk halus harus dimuliakan karena dialah yang menjaga alam raya. Mereka harus disuguhi sesajen agar tidak menimbulkan marah bahaya," jelas Tadjuddin.

Menurut Daeng Tobo, pemberian sesajen ini biasanya dilakukan sesuai dengan kesanggupan masing-masing nelayan. Semakin besar perahu atau jenis armada yang dimiliki nelayan maka semakin besar nilai atau besar sesajen yang harus dipersembahkan. Apalagi jika nelayan yang akan pergi melaut dalam waktu lama, maka biasanya sesajen yang harus mereka siapkan akan semakin banyak pula.

Selain accaru-caru ini juga dikenal ritual yang disebut annisik atau mendempul kisi-kisi perahu. Dalam acara ini dilakukan pemeriksaan sekiranya masih ada kisi-kisi yang harus ditutupi atau didempul agar tidak mudah bocor pada saat perahu berlayar di laut. Dilakukan pula pembersihan dengan cara menyiramkan air pada roh jahat yang berkeliaran di sekeliling mereka agar bersih dan terhindar dari segala gangguan roh jahat di sekeliling mereka.

"Acara annisik dapat disejajarkan dengan acara appasilik atau membersihkan diri dengan memandikan bagi seorang yang hamil tujuh atau delapan bulan, saat-saat menjelang kelahiran. Acara ini dimaksudkan agar dalam proses kelahiran bayi tidak mengalami gangguan dari roh jahat," jelas Tadjuddin.

Di hari yang lain, Daeng Tobo mengajak saya ke sebuah makam leluhurnya bernama Kare Panai, di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, berjarak beberapa kilometer dari desanya. Makam tersebut konon telah berpindah berkali-kali hingga ditempatkan di desa tersebut.

Dianggap sebagai leluhur yang menjaga perairan Makassar. Tak banyak informasi yang bisa diperoleh tentang orang tersebut. Konon dulunya adalah tokoh agama yang disebut kare.Ia memiliki jaringmanurung,yang memberi kemakmuran dengan mendatangkan ikan yang banyak di daerah tersebut. Nelayan-nelayan Galesong, khususnya nelayan besar, sebelum melaut umumnya ke makam ini untuk bernazar, kelak ketika pulang dari melaut dengan hasil tangkapan yang banyak akan melakukan ritual dan memberi sesajen yang lebih banyak.

"Beliau dikenal sebagai ampang jenne juku,yang berarti bahwa setiap air pasti ada ikannya. Orang-orang datang untuk berdoa agar hasil tangkapan melimpah," ungkap Daeng Tobo.

Daeng Tobo sendiri mengakui masih memiliki garis keturunan dengan Kare Panai sehingga kewajibannya menjadi bertambah. Apalagi dulunya ia pernah bernazar dan belum melakukannya. Ini menjadi beban bagi dirinya dan keluarganya.

"Baru sekarang bisa melakukannya meski sudah lama diniatkan. Semacam utang yang harus dibayar," katanya.

Makam tua di tempat yang baru ini luasnya sekitar 4x4 meter. Ada beberapa makam di dalamnya. Dalam pelaksanaan ritual doa seorang imam setempat didatangkan. Ia membaca doa dalam Bahasa Arab. Beragam makanan juga dibawa ke bagian dalam makam tersebut. Di batu nisan ditempatkan belasan lilin berwarna merah. Setelah doa dibacakan orang-orang dengan sengaja meneteskan lilin ke batu nisan tersebut sehingga dari kejauhan terlihat seperti tetesan darah.

Setelah ritual dan doa dilafalkan, makanan disajikan di bagian luar makam, dinikmati oleh sejumlah warga dan keluarga Daeng Tobo yang hadir dalam ritual tersebut. Wajah Daeng Tobo terlihat penuh kepuasan seiring berakhirnya ritual. Sebuah nazar telah dituntaskan. Utang-utangnya telah terbayarkan.

Menarik dari semua proses ritual ini adalah tetap dilakukan meski jenis dan bahan baku pembuatan perahu telah berubah dari kayu ke fiber. Bahan fiber disukai karena lebih ringan dan tahan lama. Selain itu sangat mudah dibersihkan tanpa membutuhkan waktu dan biaya yang banyak.

"Ritual accaru-caru tetap harus dilakukan meski ada sedikit perubahan-perubahan. Misalnya pemasangan besi di posi perahu yang biasanya di bagian bawah tengah perahu dipindah ke bagian samping pada bagian tengah kapal," ungkap Daeng Tobo.

Pamali-pamali bagi Nelayan Galesong ketika Melaut

Nelayan Sulawesi Selatan pada umumnya dan nelayan Galesong pada khususnya mengenal sejumlah pamali atau pantangan ketika mereka sedang melaut. Sebagaimana dituturkan Tadjuddin dan dibenarkan oleh Daeng Tobo, terdapat sejumlah kata-kata yang pamali atau pantang diucapkan dan dilakukan oleh nelayan.

Salah satu kata yang tak boleh disebutkan adalah tena. Dalam Bahasa Makassar kata tenaberarti tidak atau tiada. Kata ini dianggap bermakna 'kosong' atau tidak dapat apa-apa bagi nelayan. Sehingga kemudian pantangan untuk menyebutkannya ketika sedang berada di laut. Ini adalah kata kesialan jika diucapkan secara langsung sehingga kemudian diganti dengan kata toa atau tua, yang diartikan sebagai 'kurang'.

Nelayan juga pantang menyebutkan secara langsung hewan darat. Misalnya kata tedong (kerbau), kongkong (anjing), bawi (babi), jarang (kuda), ularak (ular), darek (monyet), jangang (ayam), dan sejumlah hewan lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa yang tak boleh disebutkan namanya adalah hewan darat berkaki empat.

Jika pun harus disebutkan maka diucapkan dengan nama atau kata lain. Tedong (kerbau) diganti dengan tambalak (besar badan), kongkong (anjing) diganti dengan tarang gigi (tajam gigi), bawi (babi) diganti dengan buleng (putih), jarang (kuda) diganti dengan tetterek (cepat), ularak (ular) diganti dengan balluk/malakbu (panjang), darek (monyet) diganti dengan turikayu (penghuni pohon) dan jangang (ayam) diganti dengan turilerang (penghuni kadang ayam).

Nelayan juga pamali mengucapkan kata pasala yang berarti melepaskan, atau tassala atau terlepas. Kata ini dianggap bertentangan dengan harapan mereka untuk mendapatkan ikan sebanyak mungkin. Kalaupun harus diucapkan, misalnya kalau ada bagian perahu yang terlepas, maka pengucapannya harus diganti dengan kata aklampa atau pergi, yang dianggap lebih halus dibanding kata tassala.

Tidak hanya pengucapan kata tertentu, perilaku pun harus dijaga ketika sedang melaut. Antara lain pamali untuk buang air besar (tattai) dan kencing (takmea) di bagian pintu perahu yang disebut sabanngang atau timungang karena dianggap sebagai bagian masuknya ikan yang tak boleh dikotori.

Nelayan juga tak boleh akboko atau membelakangi sabangang pada saat menurunkan alat tangkap. Tindakan ini dianggap sama artinya dengan membelakangi rezeki. Tindakan ini juga berisiko mudah terpeleset jatuh ke laut.

Ada pula pantangan yang disebut appikiru atau meludah di dekat sabangang. Diyakini bahwa meludah di dekat pintu sebagai tindakan yang bisa menimbulkan rasa tersinggung bagi tamu-tamu yang akan datang, yaitu ikan-ikan yang akan mereka tangkap, yang mereka beri nama Daeng Bau atau Daeng Rani. Pantangan ini berlaku pada saat pemasangan alat ataupun di saat penangkapan ikan.

Para nelayan juga tak boleh bertelanjang kepala ketika sedang melaut, harus menggunakan songkok atau tutup kepala dari kain. Ini semacam penghargaan kepada Daeng Bau atau Daeng Rani, ikan-ikan itu.

Bagi keluarga yang ditinggal di rumah ketika sedang melaut ada juga hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Misalnya anak-anak atau seisi rumah lainnya tak boleh menangis (Angngaruk) di saat mereka akan berangkat melaut. Ini dianggap tindakan yang menunjukkan kesusahan. Padahal diyakini bahwa sebuah pekerjaan harus dimulai dengan rasa bahagia atau penuh kegembiraan.

Keluarga di rumah juga dilarang tidur telungkup (tinro moppang/mappang). Dimaknai bahwa dengan tidur terbalik bisa berdampak pada hasil tangkapan yang akan terbalik dari harapan mereka mendapatkan ikan yang banyak.

Mengenal Sejarah Galesong

Galesong memiliki arti yang luas bagi entitas suku Makassar. Dalam sejarah diceritakan bagaimana Karaeng Galesong enggan berkompromi dengan Belanda memilih menyingkir ke Jawa, Bersama dengan raja di Jawa melanjutkan perjuangan melawan imperialisme Belanda yang baru saja menganeksasi Kerajaan Gowa.

Galesong yang hidup sepanjang pesisir Takalar adalah komunitas masyarakat pesisir sehingga budayanya pun akan sangat terkait dengan budaya maritim. Jika di masa lalu Galesong merupakan salah satu kerajaan anak dari Kerajaan Gowa, maka kini Galesong secara administrasi berada di wilayah Kabupaten Takalar. Mencakup tiga kecamatan, yaitu Galesong, Galesong Utara dan Galesong Selatan.

Asal nama Galesong sendiri memiliki banyak versi sejarah. Sebuah versi menyatakan bahwa Galesong diambil dari sebuah tempat di Kerajaan Bone, yaitu Galesong dan Bajoe. Nama tersebut konon diperoleh ketika maharaja di pusat pemerintahan di Jamarang (Jarannika) di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa.

Diceritakan bahwa ketika berkunjung ke Bone untuk bertamasya, sang raja melihat hamparan tanah yang sangat indah. Tanah di kedua tempat itu diambil masing-masing segenggam dan dimasukkan ke dalam pundi-pundi. Tanah yang diambil kemudian dibawa pulang dan kelak ditemui tempat yang tanahnya menyerupai dengan tanah yang dibawa tadi.

Di situlah kemudian ditempatkan pusat pemerintahan. Setelah kembali ke kampung, raja berkeliling di sekitar daerahnya untuk mencari kemungkinan ada tanah yang mirip dengan tanah yang ia bawa dari Bone tersebut. Tidak terlalu jauh dari daerahnya, raja menemukan tanah tersebut yang kemudian dinamakan Galesong. Pusat pemerintahan pun dipindahkan ke daerah baru ini.

Versi lain menyebutkan bahwa kata Galesong berasal dari kata galiga dan nisongong. Kata galiga mungkin sepadan dengan kata gelegah atau gong besar pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada kata galiga terjadi penghilangan salah satu suku kata, yaitu terakhir ga sehingga menjadi gali.

Adapun kata nisongong (dijunjung) adalah kata turunan yang terbentuk dari prefix ni- dan songong. Prefix ni- bermakna gramatikal sama dengan prefix di- dalam Bahasa Indonesia, sedangkan songong berarti junjung. Pada kata isongong terjadi pula proses penghilangan sebagian elemennya sehingga tersisa song. Jadi kata galesong menurut versi ini terbentuk dari gali (galiga) dan song (nisongong) yang berarti 'gong besar yang dijunjung atau dibawa di atas kepala'.

Selain kedua versi di atas, secara etimologis dapat ditelusuri bahwa kata Galesong ada kemungkinan berasal dari kata gali (kapal perang) dan songsong (berlayar menempuh arus atau berlawan dengan arah arus). Dalam Bahasa Makassar dikenal kata sossong atau labrak. Galiung (kapal) atau galis (perahu perang yang berukuran besar). Dari gabungan kedua kata tersebut lalu terjadi proses penyingkatan sehingga terbentuklah kata galesong.

"Di antara kata yang telah di sebutkan di atas, gabungan kata yang paling memungkinkan sebagai asal kata galesong yaitu galai menjadi gales dan proses penghilangan silabik songsong menjadi song sehingga terbentuklah kata galesong. Tentu saja gabungan kata yang lain tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi asal usul kata Galesong," jelas Tadjuddin.

Menurutnya, apabila kata galesong yang berarti 'kapal perang yang mampu melawan arah arus' dikaitkan dengan status Kerajaan Galesong sebagai kerajaan berbasis maritim pada masa Kerajaan Gowa, sangat logis diterima bahwa kata Galesong berasal dari kata galai yang mengalami proses deiftongisasi menjadi gale dan kata songsong yang mengalami proses penyingkatan atau penghilangan suku kata menjadi song.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun