Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Status Internasional Bandara Sultan Hasanuddin Makassar

17 Maret 2018   23:14 Diperbarui: 17 Maret 2018   23:24 3204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Wahyu Chandra

Meski namanya Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, namun pelayanannya jauh dari standar internasional. Itu keluhan sejumlah kawan ketika saya meminta tanggapan tentang bandara Sultan Hasanuddin yang ada di Kota Makassar.

Salah satu indikatornya adalah kenyamanan bagi penumpang yang baru tiba. Tak jarang, mereka jadi rebutan para sopir taksi dan konon kebanyakan adalah taksi ilegal. mereka bergerombol mendekati penumpang. Harga tarifnya pun lebih mahal. Lebih parah lagi, kadang sopir minta biaya tambahan ketika penumpang tiba di tujuan.

Ketika taksi online muncul, penumpang merasa mendapat harapan. Setidaknya penumpang tak bingung lagi mencari tumpangan yang nyaman dan sekaligus murah. Sebagai perbandingan, dari bandara ke rumah saya dengan menggunakan taksi bandara tarifnya Rp130 ribu, sementara dengan taksi online hanya Rp 65 ribu. Setengah dari tarif normal. Penumpang juga tidak lagi menjadi ajang rebutan taksi bandara, yang kadang setengah memaksa. Keberadaan taksi online sangat menguntungkan penumpang.

Namun taksi online ternyata tak mendapat ruang di bandara. Saya mendengar beberapa kasus di mana sopir taksi lain dikeroyok oleh sopir taksi bandara, dan dibiarkan saja oleh petugas bandara. Ada juga yang diintimidasi. Difoto kemudian disertai ancaman. Belakangan saya melihat sebuah spanduk di dalam kawasan bandara larangan bagi taksi online untuk beroperasi di bandara.

Saya tidak tahu apa dasar pihak bandara mengeluarkan kebijakan ini, karena secara nasional sendiri taksi online sudah mendapat ruang, meski memang ada penolakan dari sebagian sopir taksi dan angkutan lainnya.

Kalau spanduk ini dipasang di sebuah kawasan swasta, maka mungkin bisa dimaklumi. Namun ini dipasang di bandara milik negara, yang dilabeli 'internasional'. Bandara telah melanggar kebijakan nasional yang mengakomodir taksi online dan di sisi lain larangan itu sangat merugikan penumpang, yang notabene menginginkan pelayanan transportasi yang nyaman, aman dan murah.

Hal lain, jika pihak bandara melarang taksi online karena berpatokan pada regulasi tertentu, bagaimana dengan banyaknya taksi bandara ilegal yang masih banyak berkeliaran?

Saya pernah naik salah satu taksi bandara ilegal ini. Sopirnya mengaku tak membayar apa pun ke pihak bandara. Sopir itu mengakui sendiri dirinya ilegal dan petugas bandara tahu.  Kenapa mereka dibiarkan, sementara taksi online dilarang, bahkan dengan dibuatkan spanduk? Padahal status taksi online malah lebih legal dibanding taksi biasa yang ilegal itu.

Kalau pihak bandara tetap mempertahankan kebijakan larangan itu, maka ada dua pilihan yang harus  mereka lakukan. Pertama, menghapus kata 'internasional' nya dan kedua menyediakan sarana transportasi bagi penumpang, yang nyaman dan murah, sekaligus memberantas taksi ilegal yang kadang seenaknya mengatur tarif.

Jika ini tak dilakukan, nama bandaranya diganti saja menjadi 'Sultan Hasanuddin 'Traditional' Airport.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun