Hari sebentar lagi akan gelap ketika Basri Madung (45) bergegas berjalan menuju pinggir pantai di mana puluhan perahu kayu berjejer rapi. Perahu-perahu itu terdiri dari beberapa ukuran. Ada yang sementara dalam pengerjaan awal dan ada juga yang telah hampir selesai.
Sebuah perahu besar terlihat belum selesai pengerjaannya meski badan perahunya sudah terlihat kusam. Konon perahu itu dulunya dipesan oleh seorang pengusaha transportasi, yang sudah membayar panjar. Sayangnya, perahu itu tak diselesaikan karena pemiliknya keburu bangkrut karena kapalnya yang lain karam di tengah laut.
Basri adalah salah seorang pembuat perahu Pinisi di Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Tana Beru ini sendiri dikenal sebagai salah satu pusat pembuatan perahu Pinisi, perahu khas Sulawesi Selatan yang ketenarannya hingga ke mancanegara.
Perahu Pinisi dikenal karena ketangguhan dan kelincahannya di laut. Konon, dulu pelaut-pelaut dari Eropa begitu takjub ketika melihat penampakan perahu ini pertama kali. Desainnya yang ramping namun kokoh membuatnya perkasa melewati kencangnya angin dan badai di laut.
Tak ada informasi yang pasti tentang kapan mulai perahu ini muncul. Di dalam epos La Galigo sendiri diceritakan ketangguhan perahu yang digunakan La Galigo mengarungi lautan, keliling nusantara bahkan ke mancanegara.
Menurut Muhammad Arief Saenong, dalam bukunya berjudul Pinisi, ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Mexico pada 1962, ia menyaksikan kerangka perahu layar di Pantai Acapulco. Konon tim ahli setempat pernah mengadakan penelitian terhadap bangkai kapal tersebut dan menemukan bahwa bangkai kapal tersebut berasal dari Teluk Bone. Diperkirakan kapal tersebut datang ke Acapulco pada abad ke-15.
Dalam misi pelayaran Pinisi Ammana Gappa ke Madagaskar tahun 1991, ditemukan beberapa bukti yang meyakinkan bahwa pelaut Bugis -- Makassar pernah sampai ke negara tersebut beberapa abad silam. Keyakinan itu didasarkan atas adanya kesamaan kosa kata penduduk dengan Bahasa Konjo[i],adanya kesamaan arsitektur rumah dan alat dapur dengan Bugis -- Makassar.[ii]
Basri lalu menunjukkan kapal-kapal yang berjejer tersebut, sambil menjelaskan fungsi masing-masing kapal. Kapal paling besar biasanya digunakan mengangkut kargo dan penumpang. Ada juga untuk kapal penangkap ikan, dari ukuran sedang hingga kecil. Sebagian adalah perahu ukuran sedang yang konon dipesan oleh turis-turis dari luar negeri. Paling banyak dari Inggris dan Australia.
Sore itu suasana Tana Beru agak sepi dan aktivitas pengerjaan perahu baru saja selesai. Masih terlihat sisa-sisa kayu berserakan di sekitar tempat tersebut.
Menurut Basri, pembuatan kapal bisa memakan waktu berbulan-bulan atau malah tahunan. Selain karena faktor ukuran juga ketersediaan anggaran dan bahan baku. Sistem pembayaran pembuatan sebuah perahu sendiri bisa secara tunai, namun seringnya dengan pembayaran tiga kali. Tergantung pada kesepakatan. Biasanya dimulai dengan pembayaran 30 persen, baru kemudian 20 persen lagi. Sisanya dibayar setelah perahu selesai.
Bahan baku berupa kayu bitti dan kayu besi (ulin) diperoleh dari pedagang yang datang sendiri ketika mengetahui sebuah kapal akan dibuat. Ini berbeda dengan zaman dulu di mana pembuat perahu akan mencari sendiri kayu yang akan digunakan. Untuk menebang kayu ini ternyata memiliki ritual tersendiri di mana bahan yang pertama ditebang adalah komponen kalibeseang (lunas) atau dasar perahu, yang kan dilakukan oleh punggawa pembuat kapal, dengan menggunakan kampak.