Apa yang terjadi di Tugu Tani, ketika Afriani Susanti dengan kesadaran yang sedikit, melibas secara membabi buta pejalan kaki yang jumlahnya belasan, dan menyebabkan kematian 9 orang diantaranya, adalah sebuah tragedi yang memilukan.
Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya rentetan kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian pengendara mobil. Apakah disebabkan oleh konsenterasi yang hilang karena rasa kantuk ataupun karena 'teler' sehabis mengkonsumsi miras dan narkoba.
Pertanyaannya, apakah Afriani Susanti dan puluhan dan bahkan ratusan orang lainnya, para pengendara yang lalai itu, memang telah sengaja menabrakkan mobilnya ke barisan orang yang tak bersalah?
Memang belum ada penelitian yang pasti yang bisa mengungkap ada tidaknya motif di balik semua kejadian itu, tapi hampir bisa dipastikan bahwa itu semua di luar keinginan dan kendali si pengendara. Semuanya adalah sebuah 'insiden', rancangan takdir yang telah Tuhan gariskan bagi manusia.
Kesimpulan saya pada akhirnya, Afriani Susanti bukanlah seorang pembunuh. Dia hanyalah seseorang yang sedang bernasib buruk, yang mungkin karena perbuatan-perbuatan buruk yang telah dia lakukan sebelumnya.
Dia hanyalah seseorang yang sedang berada dalam titik terbawah roda nasib. Nasib baik tengah sangat menjauh darinya. Ia bukan pembunuh karena sebuah kesengajaan atau telah ia niatkan sebelumnya. Dia adalah 'aktor' yang Tuhan utus bagi kesadaran kita; Dia adalah cermin atas tata kehidupan masyarakat yang buruk; Dia adalah pembawa pesan bagi kita, bahwa segala sesuatu yang diawali dengan keburukan pada akhirnya akan berakhir pada keburukan juga.
Maka tak pantas bila kemudian Afriani Susanti harus dihukum sedemikian rupa, apalagi dengan hukuman mati, sebagaimana banyaknya teriakan di media-media sosial. Jika Afriani Susanti adalah cermian dari masyarakat dan diri kita, maka dengan menghukumnya begitu berat maka sama halnya dengan menghukum diri sendiri.
Coba bayangkan jika kita berada dalam posisi Afriani Susanti. Bayangkanlah bagaimana suramnya kehidupan yg anda akan alami jika berada dalam posisi dia dengan hujatan sebagai 'monster pembunuh' dari seantero negeri, sementara kita sendiri tak pernah sengaja melakukan perbuatan tersebut?
Hukuman yang kini Afriani Susanti terima, menurut saya, sudah jauh lebih 'mematikan' dibanding hukuman mati. Dia telah menerima semua hukuman itu, bahkan ketika vonis hakim belum dijatuhkan.
Memelihara kemarahan dan kegeraman kepada Afriani Susanti hanyalah akan meninggalkan lubang yang menganga pada kesadaran kita sendiri, karena secara tidak sadar kita telah membentuk diri kita sendiri sebagai seorang pembunuh dengan memaklumatkan hukuman mati pada Afriani Susanti.
Jadi mari memaafkan Afriani Susanti karena itu sama saja dengan memaafkan diri sendiri.