Tak pernah sepi pemberitaan tentang kekerasan berdalih agama. Beberapa saat lalu saya membaca artikel berita di kompas.com tentang kekerasan yang ditujukan bagi penganut agama Islam beraliran syiah di Sampang Madura. Konon pengikut aliran syiah si daerah ini mencapai 1.00 an orang. Syaikh (guru) mereka, Tajul Muluk, sebelumnya (4/4) telah ditahan Kapolres setempat. Mereka pun terancam terusir dari kampung halaman mereka sendiri.
Apakah Islam memang agama kekerasan dimana penganutnya dibolehkan atau malah 'diwajibkan' melakukan kekerasan, hanya karena perbedaan dalam metode beribadah pada tuhan yang sama? tanya seorang teman saya yang di ktpnya tertulis beragama Islam, kepada saya dengan wajah yang sedih.
Saya tak bisa menjawab. Ketika saya menanyakan hal yang sama kepada teman yang saya anggap faham masalah agama (Islam), ia menjawab bahwa kekerasan dibolehkan dan bahkan diwajibkan ketika itu dilakukan untuk menegakkan kebenaran dan agama Allah.
Saya bertanya kembali, 'apakah definisi kebenaran' itu? Siapakah yang berhak mengklaim kebenaran sejati? Apakah orang-orang yang berbeda metode dengan kita menyembah tuhan yang sama adalah orang yang salah, sementara mereka sendiri punya keyakinan yang besar akan kebenaran yang mereka yakini, dan kita, hanya karena mayoritas, berhak mengklaim sebagai pemilik kebenaran sejati?
Sayangnya saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu.
Saya pun ingat bacaan saya akan berbagai literatur tentang sejarah Islam. Mulai dari yang ditulis oleh sejarawan Islam hingga yang ditulis oleh orang yang kita sebut sebagai 'orientalis'. Memang ada sejarah kekerasan di sana. Tapi sungguh bukan kekerasan sebagaimana yang banyak saya saksikan beberapa tahun terakhir ini.
Saya malah dapat menyimpulkan bahwa di awal sejarah Islam, Nabi Muhammad bahkan cenderung menghindari jalan konfrontasi dan kekerasan dalam menyebarkan Islam. Bahkan oleh para sahabat-sahabat Nabi Muhammad terkadang dinilai lemah, karena penolakannya untuk memerangi musuh, meski di atas kertas secara kekuatan dan strategi jauh melebihi kemampuan musuh.
Sejarah mencatat, betapa sedih dan kecewanya para sahabat ketika Nabi Muhammad menerima kesepakatan damai dengan pemuka Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini dinilai berat sebelah dan merugikan umat muslim. Tapi Nabi melihat bahwa itu adalah jalan yang lebih baik dibanding harus menempuh jalan kekerasan (peperangan) seperti selama ini. Dan memang terbukti dengan perjanjian, dengan jalan damai ini,  Islam menjadi lebih mudah diterima oleh warga Mekkah.
Ketika Mekkah kemudian telah dikuasai oleh muslim, apakah kemenangan ini diwarnai dengan pertumbahan darah, dan aksi balas dendam, sebagaimana menjadi kebiasaan pada saat itu?
Menurut Maulana Wahiduddin Khan, pada saat itu, Nabi berdialog dengan pemuka Quraisy. Nabi berkata:
"Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan pada kalian sekarang?"