Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Malaikat Maut (16)

15 Desember 2009   16:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:55 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maskito telah mencapai segalanya dari hidup kecuali satu hal: menjadi seseorang yang sepenuhnya merdeka atas dirinya sendiri. Ia sudah merasakan betapa tidak menyenangkannya berada dalam kendali orang lain. Semua yang dilakukannya tak pernah benar-benar karena kuasanya sendiri. Begitulah struktur kuasa berlaku. Dalam militer keterpaduan antara keinginan atasan dengan loyalitas bawahan adalah hal yang terelakkan. Seorang prajurit ketika mendapat perintah membunuh musuh tidak lagi berpikir akan kebaikan ataupun keburukan dari tindakannya. Keraguan hanya akan memberi kesempatan pada musuh untuk melakukannya terlebih dahulu.

Ia begitu terobsesi dengan kekuasaan mutlak semenjak ia menyadari betapa ‘nasib baik’ ternyata telah menjadi nama tengahnya. Ia selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mulus, meskipun itu semua tidak melulu karena usaha dan nasib baiknya sendiri. Nasib baik yang paling penting baginya adalah Big Boss tidak pernah sedikit pun meragukan kesetiannya. Ia adalah yang terpercaya, meskipun sebenarnya tidak semua yang dilakukannya selama ini sepenuhnya jujur seperti yang dikira atasannya.

Di tengah karya baktinya atas kerajaan hitam yang dibangun Big Boss, ia sebenarnya tengah membangun kerajaannya sendiri. Ia merekrut orang-orangnya sendiri sebagaimana Big Boss dulu merekruitnya. Ia punya puluhan orang yang terpercaya yang siap melakukan apa saja untuknya.

Sebagai seseorang yang paling tahu tentang kondisi perusahaan, ia dapat melakukan segalanya. Jika ia mampu mempermak laporan keuangan perusahaan agar terlihat sebagai gadis cantik yang memikat untuk bosnya, maka ia pun pastinya mampu melakukan hal itu untuk dirinya tersendiri. Jika Big Boss tahunya mereka memiliki dua laporan keuangan yang berbeda, maka ia salah, karena mereka sebenarnya punya tiga. Laporan yang satu lagi disimpan untuk dirinya, laporan keuangan yang sebenarnya.

Ide untuk itu sebenarnya muncul setahun yang lalu, ketika Big Boss terlalu sibuk dengan kondisi keluarganya yang diambang kehancuran. Ia tidak lagi sefokus sebelum-sebelumnya dan itu adalah sebuah peluang bagi mata yang jeli. Dari sebuah pencurian kecil-kecilan, yang semakin membesar, dan semakin membesar. Kerajaan rahasia yang dibangunnya pun kini tengah dalam kondisi puncak untuk sebuah kudeta atas kerajaan yang lebih besar. Kerajaan bisnis Gentar Group dimana ia telah digembleng menjadi putera mahkota. Tapi untuk menunggu hingga tahta itu benar-benar dimilikinya adalah hal yang benar-benar sangat menganggu. Dalam sebuah aturan perang klasik dikatakan bahwa seranglah lawanmu di saat paling terlemah mereka. Dan saat itu kini sudah di ambang mata. Kerajaan bisnis itu, jika tak ada aral melintang sebentar lagi akan menjadi miliknya.

Big Boss telah menghilang berbulan-bulan sejak kematian istrinya, meski baginya, sebenarnya ia tidak benar-benar menghilang. Di suatu tempat yang dirahasiakannya, Big Boss masih terus menjalin kontak dengan dirinya melalui handpone. Ia menggunakan telepon satelit berteknologi pengacakan nomor hingga ia benar-benar tidak mengetahui keberadaan atasannya itu. Terakhir mereka bertemu adalah ketika ia menghantarnya ke bandara menuju Singapura. Big Boss, tidak seperti biasanya, tidak mengatakan tujuan yang sebenarnya. Singapura tentunya hanya sebuah transit, sebagaimana peran yang dimainkannya selama ini. Dari Singapura ia bisa beranjak kemana saja, seakan negara itu adalah pusat dari segala pemberangkatan. Ia menyesali tidak mengirim seorang penguntit saat itu karena ia memang tak pernah menyangka kebersamaan di bandara Soekarno – Hatta adalah kebersamaan terakhir mereka.

Berminggu-minggu tak pernah ada kabar dari Big Boss dan tak ada satu pun akses yang bisa menghubungkannya dengannya. Selama ini Big Boss lah yang selalu menghubunginya, yang entah kenapa, karena ia selalu merasa Big Boss percaya padanya melebihi pada siapa pun. Lalu suatu hari Big Boss menelpon di sebuah lokasi yang anonim. Ia menyerahkan sepenuhnya kendali perusahaan padanya dan berjanji akan terus menelpon di saat-saat tertentu. Big Boss memintanya tak menanyakan lokasi keberadaannya dan atau berusaha melacaknya. “Ini bukan karena tiadanya kepercayaan,” bujuk Big Boss, “Aku hanya ingin benar-benar sendiri saat ini. Hanya aku dan diriku.” Dan ia pun menghilang seperti tidak berada di mana pun.

Berbulan-bulan tidak mengetahui keberadaan Big Boss benar-benar membuatnya frustasi. Ia mulai merasa paranoid bahwa Big Boss mengetahui semua yang telah dilakukannya selama ini. Jangan-jangan ia menghilang hanyalah sebuah strategi agar bisa leluasa mengawasi pergerakannya.

Maskito kini benar-benar punya kendali penuh atas semua bisnis yang dikelola Gentar Gropu, mulai dari bisnis bersih, setengah bersih, hingga yang paling kotor sekalipun. Maskito pun kemana-mana sudah dikawal belasan pengawal, dari prajurit terbaik yang dipilihnya sendiri. Beberapa di antaranya adalah mantan anggota Marinir yang desertir karena terbuai dengan penghasilan yang lebih besar. Ia melengkapi rumahnya dengan segala macam teknologi anti-penyusup karena mulai berpikir bahwa dirinya bisa saja sedang menjadi incaran seseorang saat ini. Big Boss, yang telah memberi tahtanya untuk sementara waktu, kini mungkin tengah menyiapkan sepasukan pembunuh yang akan menyergapnya setiap saat. Menunggu waktu yang tepat, yang sebagaimana dikatakan aturan perang klasik itu, adalah waktu yang tepat untuk menyerang.

Dalam kegelimangan tumpukan kekayaan hasil jarahannya, ia malah merasa berada di neraka. Neraka yang sebenarnya ia ciptakan sendiri. Dalam keresahannya ini, Ia pun mulai menelpon seseorang.



Laporan bagian Forensik sudah di mejanya ketika ia memasuki kantor pukul sepuluh pagi. Sebuah pertemuan koordinasi harus dihadirinya jam-jam sebelumnya, dan di tengah pertemuan itu salah seorang bawahannya datang membisikkan sesuatu. Ia pun segera pamit meninggalkan pertemuan, yang hanya sebuah koordinasi antar unit yang juga sudah akan segera berakhir. Dengan tergesa-gesa ia pun menuju ruang kantornya.

Senyumnya merekah membaca laporan yang sangat teknis itu, yang dilengkapi dengan sedikit analisis. Bertahun-tahun bertugas di lapangan membuatnya faham dengan bahasa-bahasa teknis, termasuk penggunaan simbol-simbol kimiawi yang mungkin akan terasa membosankan bagi kebanyakan orang.

Ia puas bahwa hasil autopsi sesuai dengan yang diharapkannya. Wanita itu bukanlah meninggal karena over dosis obat yang ditelannya. Meski tubuh wanita itu seperti sebuah apotik dengan segala jenis zat obat kimiawi yang dikandungnya, namun sebuah zat yang tidak seharusnya berada di tubuh wanita itu ditemukan di bagian jantung: sianida. Sejenis zat beracun yang sangat mematikan, yang mampu membunuh secara cepat dan efektif dan sangat sulit dikenali. Sebuah lubang kecil di bagian dada wanita itu, yang kemungkinan besarnya adalah akibat jarum suntik, semakin membuktikan bagaimana zat itu bisa berada di tempat seharusnya ia tak ada. Mengingat tak adanya jarum suntik yang ditemukan di lokasi kematian korban, sebagaimana laporan keluarga korban, maka dapat dipastikan bahwa wanita itu memang benar-benar dibunuh.

Handponenya bergetar. Sebuah pesan tertera di layar HP. Ia membalas pesan itu: Paketnya sudah tiba. Positif.

Ia begitu gembira hingga melupakan kenyataan bahwa kondisi kini menjadi sedikit komplikatif. Bagaimana jika bukan Malaikat Maut yang melakukan pembunuhan itu, tapi suami wanita itu sendiri, mengingat keberadaannya yang tidak diketahui seorang pun. Adalah hal yang sangat mencurigakan bahwa sang suami menghilang setelah menemukan istrinya meninggal secara mengenaskan, yang dikemudian hari diketahui meninggal bukan karena OD, tapi dibunuh. Ia kembali mengambil HP-nya dan menuliskan sebuah pesan singkat: Aku segera ke kantormu. Sekarang.

Tak butuh banyak waktu hingga Inspektur Alex kini berada di ruangan AKP Ibrahim. AKP Ibrahim sepertinya sudah menunggunya dengan segudang pertanyaan, “Oke, kamu benar sekarang. Nah kini, apa lagi yang akan kau cekoki ke kepalaku?”

“Aku benar-benar butuh pandangan profesionalismemu sekarang. Ingat, kita satu tim!”

Lalu ia menceritakan apa yang ada di kepalanya, yang muncul secara tiba-tiba setelah membaca laporan forensik itu. Mereka pada dasarnya memiliki pandangan dan kebimbangan yang sama. Sangat tidak bijak memutuskan sesuatu secara pasti hanya berdasar pada asumsi yang tidak memiliki pijakan yang jelas, dan hanya karena intuisi belaka. Kenyataan bahwa laporan forensik mendukung asumsi awalnya, bukanlah sebuah alasan untuk membuatnya terburu-buru memutuskan bahwa ia berada di jalur yang benar. Bukti bahwa wanita itu mati dibunuh adalah satu hal, sedangkan keterlibatan Malaikat Maut dalam pembunuhan itu adalah hal lain.

Keduanya lalu memikirkan kemungkinan memadukan kedua hal itu menjadi sebuah serpihan dalam kotak yang sama. “Kita bisa berasumsi bahwa Malaikat Maut mungkin terkait dengan pembunuhan itu, begitu pun dengan suami wanita itu. Keduanya memiliki potensi yang sama, meskipun kemungkinan-kemungkinan lain masih tetap ada.” AKP Ibrahim menjelaskan sedikit teorinya.

“Fokus, Bram!” potong Inspektur Alex.

“Iya. Ini adalah pendapat profesionalku sebagaimana yang kau minta. Kenapa kita tidak memikirkan memancing untuk mendapatkan dua hasil sekaligus?”

AKP Alex tersenyum sumringah. Itulah yang diharapkannya dari tadi. Satu-satunya hambatan bagi skenario itu adalah kenyataan bahwa mereka tidak memiliki sedikit pun gambaran tentang keberadaan suami wanita itu, sang pengusaha tenar.

“Kita bisa menempatkan intel di sekitar perusahaannya, atau menguntit salah seorang kepercayaannya. Informasi awal yang kuperoleh bahwa semua kendali perusahaan Gentar Group kini di tangan wakilnya, Maskito.”

“Maskito?” Inspektur Alex menyebut nama itu dengan berbisik, seperti bertanya pada diri sendiri.

“Semua orang tahu Mr. Maskito, apalagi di jajaran kepolisian. Dia adalah salah seorang pengusaha yang banyak membantu kepolisian pada tahun krisis kemarin. Ingat mobil patroli buatan Jepang itu? Itu salah satu andilnya bagi kita.”

“Ya, aku ingat siapa dia, tadi aku hanya berpikir tentang Maskito yang lain,” ujar Inspektur Alex masih dengan setengah berbisik. Ia seperti sedang tak berada di tempat itu sesaat.

“Kita akan menyadap Maskito?” tanya Inspektur Alex kemudian.

“Sepertinya hanya itu satu-satunya harapan kita, jika memang itu bisa dianggap harapan,” ucap AKP Ibrahim terdengar ragu.

“Maksud kamu?”

“Ya, seperti yang aku bilang tadi, ia bukan orang sembarangan. Setidaknya bagi institusi kita saat ini. Apa kamu yakin pimpinan akan dengan memudah mengizinkan kita menyadap orang yang telah sedikit berjasa bagi institusi kita?

“Hal lainnya adalah bahwa penyadapan tidak sedang populer saat ini. Ingat kasus yang menimpa pimpinan KPK yang menjadi kontraversi ketika melakukan penyadapan, meski ia memiliki wewenang untuk itu? Tak akan ada yang senang dirinya disadap. Dan jika ingin menyadap orang yang punya kuasa maka kita harus benar-benar punya nyali untuk melakukannya.”

“Kita tidak sedang mengincar dia, kan? Ia hanya umpan untuk mendapatkan target yang sebenarnya, atasannya, yang bisa kita asumsikan bertanggungjawab atas kematian istrinya, yang kemudian diperkuat dengan hilangnya dia dari peredaran.”

“Tetap saja sama,” dengus AKP Ibrahim setengah putus asa. Aku bukan anak kemarin sore untuk tidak menyadari kenyataan yang kita hadapi. Ini adalah tembok yang susah kita tembus.”

“Hal lainnya, sang atasan, yang kau sebut sebagai target kita bukankah saat ini tidak sedang dalam kasus tersangka, kecuali kau tiba-tiba akan melakukan penuntutan baru?”

Inspektur Alex membenarkan dalam hati argumen rekannya. Mungkin karena eforia ia jadi lupa dengan kasus yang sebenarnya sedang ditanganinya.

“Bagaimana dengan surat sakti itu?” Inspektur Alex seperti menemukan setitik cahaya terang.

“Itulah yang kumaksud dengan ‘harapan’ itu. Aku sebenarnya berharap bahwa surat itu benar-benar sesakti yang kita bayangkan.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi?”

Keduanya lalu beranjak mengerjakan bagian masing-masing. Surat perintah penyadapan harus segera dibuat. Persiapan harus segera dilakukan. Martil besar harus segera disiapkan. Memecah sebuah tembok besar yang sangat kokoh memang selalu martil yang lebih besar. Meski sekali memental akan memberi rasa sakit yang tak terkira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun