Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Malaikat Maut (8)

29 November 2009   16:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Melihat tanda-tanda kepanikan di wajah wanita itu, Coki segera berusaha menenangkan, alih-alih memasang wajah sangar dan memaksa.

“Mungkin teman anda lupa ataupun ada masalah tapi tidak sempat menjelaskannya. Begini saja Mbak, besok saya datang lagi. Kalau ada apa-apa telpon saja di nomor saya.” Ia lalu memberi kartu nama pada wanita itu.

Coki segera pamit menyisakan tanda tanya di hati Maya. Maya tadinya membayangkan Coki akan segera memberinya deadline atau sejenis ancaman lainnya agar ia segera melunasi cicilannya ditambah bunga yang besar. Ia membayangkan laki-laki itu akan langsung mengintimidasi dengan kalimat-kalimat paksaan, terkadang diselingi kalimat-kalimat kotor, yang hanya akan bisa dijawabnya dengan anggukan dan mungkin tangisan. Tapi lelaki itu hanya memberi kartu nama dan memintanya menelpon segera jika sudah punya solusi. Sesaat ia merasa lega, meski kemudian menyadari bahwa itu tidak akan menyelesaikan masalahnya seketika. Lelaki itu hanya memberinya sedikit perpanjangan waktu, yang berarti juga perpanjangan masalah baginya. Ini hanya akan menjadi masalah waktu dan ia akan tetap membayar utang yang sebenarnya ia pikir sudah dilunasinya.

Coki lalu menstater motornya, dan sebelum berlalu ia berbalik ke arah Maya, “Panggil saya Coki, Mbak.”

“Kenapa?” Maya kurang mendengar perkataan lelaki itu karena suara derungan motor dan mobil yang lalu lalang.

“Maksud saya, Mbak cukup memanggil saya Coki. Tidak usah menggunakan nama lengkap yang ada di kartu nama itu.”

Maya mengangguk sambil memandangi kartu nama itu sekilas. Lelaki itu berlalu menyisakan kelegaan sekaligus kerisauan di hati Maya. Maya kembali memencet handpone-nya. Nomor yang dihubunginya belum juga aktif. Ia pun mengirim pesan SMS dan beberapa saat kemudian muncul tulisan di layar HP: pengiriman pesan gagal.

Maya memeriksa saldo rekeningnya melalui fasilitas SMS Banking. Para bank berlomba-lomba telah memanjakan nasabahnya dengan memberi berbagai fitur, yang memudahkan interaksi dengan nasabah di mana pun mereka berada. Interaksi fisik antara bank dengan nasabahnya akan semakin jarang ditemui di masa sekarang dan lebih-lebih di masa yang akan datang. Bank-bank tidak lagi menarik perhatian nasabah dengan sekedar memberi bunga yang tinggi ataupun batasan saldo minimal. Bank-bank baru muncul membawa teknologi baru, dan bank-bank lama pun mengikutinya agar tidak tertinggal atau ditinggalkan nasabahnya. Sebaliknya para nasabah pun kini tidak lagi semata mengharapkan suku bunga yang tinggi. Yang terpenting adalah keamanan, aksesibilitas dan kenyamanan bertransaksi. Bank-bank juga kerap memberi insentif lain selain suku bunga. Mulai dari pemberian hadiah langsung atau point yang bisa ditukarkan dengan uang dan barang, diskon untuk barang-barang tertentu, kemudahan di bandara, mall-mall, tempat parkir hingga tempat-tempat rekreasi. Bank-bank pun bermain di tataran image. Politik budaya populer telah menggirim publik untuk menabung bukan lagi sekedar untuk penyimpanan uang ataupun investasi, tapi juga adalah gaya hidup. Dalam sebuah survey perbankan, hal-hal yang sering ditanyakan selain keamanan dan kenyamanan juga seringkali adalah image, yaitu seberapa bangga mereka menabung di bank tertentu, ataukah dengan menabung di bank tertentu apakah akan menaikkan status sosial mereka. Tipu daya budaya populer kerap memakan korban. Bank-bank yang sebenarnya bermasalah terus mendapat suntikan dana dengan memanfaatkan fasilitas LPS dan diintervensi oleh Bank Indonesia. Bank-bank yang sebenarnya sudah bangkrut terus dipromosikan sebagai bank yang sehat dan memiliki perfomance yang baik. Masyarakat yang telah tertipu berkali-kali tak pernah benar-benar kapok. Pemerintah yang telah berkali-kali terperdaya tak juga mengambil pelajaran dari berbagai kasus yang ada.

Saldo tabungan yang tertera di layar HP Maya hanya bisa menutupi satu bulan cicilan. Ia enggan menceritakan hal ini pada orang tuanya dan berharap Leni, teman yang seharusnya membayarkan cicilan motornya, punya alasan yang tepat atas masalah yang dihadapinya sekarang. Ia tidak berani berprasangka sebelum bertemu sendiri dengan Leni, meskipun hatinya sedikit dongkol. Ia menyesali nasibnya yang harus berurusan dengan debt collector, monster yang dihindari banyak orang.



Ketika bergabung dengan Gentar Group, Maskito tidak memiliki harapan yang berlebih akan nasib hidupnya kelak. Ia sebenarnya berharap akan segera pulang ke kampung setelah kuliahnya selesai, dan mendaftar sebagai PNS, sebagaimana harapan kedua orang tuanya. Menjadi PNS adalah harapan semua pemuda di kampungnya. Ia akan mendapat status sosial yang tinggi di kampung dan yang paling penting takkan ada gadis yang menolak cintanya. Para orang tua akan dengan senang hati menikahkan anak gadis mereka dengannya. Semua gadis yang dulu pernah menolak cintanya, karena ia miskin (ia selalu berpikir seperti itu), akan menyesali sikap mereka di masa lalu. Ia membayangkan akan memakai baju berwarna coklat muda dengan berbagai lambang di bajunya. Mungkin ia akan bekerja di bagian ekonomi, karena statusnya sebagai sarjana akuntansi. Alternatif lainnya adalah bekerja di bank, yang memiliki gaji yang lebih tinggi, meskipun sistem kariernya lebih terbatas. Namun dengan usaha dan keuletan kelak ia akan memimpin bank tersebut. Ia akan membiayai kedua orang tuanya ke tanah suci dan rumah mereka akan direnovasi. Di atas pintu depan akan terpasang sebuah papan yang terbuat kayu hitam bertuliskan namanya sekaligus gelar kesarjanaannya. Itulah yang sering diimpikannya.

Ketika ia memutuskan bekerja di Gentar Grup, ia berpikir hanya akan sementara di perusahaan itu. Mungkin setahun atau dua tahun. Paling lama tiga tahun. Hingga cukup waktu untuk mendapatkan pengalaman kerja yang memadai. Tapi rutinitas di perusahaan itu yang dinamis, ditambah gaji yang cukup besar membuatnya urung membatalkan niatnya semula. Setiap ia berpikir untuk keluar dari perusahaan itu, atasannya akan segera menaikkan posisi dan gajinya. Jika kau menanjak ke posisi puncak, maka engkau akan enggan untuk turun sebelum hingga mencapai puncak tertinggi. Dan jika engkau sudah berada di puncak, maka engkau akan benar-benar enggan meninggalkannya. Begitulah kekuasaan bekerja. Jangan heran jika seseorang yang dulunya adalah pejabat tinggi yang sangat dihormati, lalu harus menanggalkan kekuasannya setelah mencapai usia pensiun akan mengalami apa yang dinamakan postpower syndrom. Dan lebih-lebih jangan heran jika mereka akan mencari posisi baru di puncak, yang tidak dibatasi oleh usia atau tidak dikenal istilah pensiun. Ada yang menjadi anggota dewan, ataupun memimpin organisasi-organisasi besar, atau komisaris di perusahaan-perusahaan besar, karena ia punya nama besar yang punya nilai jual dan jadi ‘jaminan keamanaan’ perusahaan dimana ia bekerja.

Ia kini merasakan kondisi itu. Posisinya sebagai nomor dua di perusahaan adalah prsetasi tertingginya. Ia tidak pernah membayangkan mendapat lebih dari itu. Di usianya yang masih sangat muda atasannya telah memberinya posisi yang menjadi incaran semua orang di perusahaan itu. Para senior di perusahaan itu pastinya iri dengan semua pencapaiannya dan mungkin ia akan mendapatkan cercaan ataupun tanggapan miring dari mereka, meski tidak secara langsung. Mereka hanya berani membicarakannya antara mereka sendiri.

Bagi orang luar, ia justru mendapat apresiasi yang tinggi. Media-media bisnis menempatkannya sebagai manager dengan performance terbaik, yang ramah pada media, yang paling memahami persoalan ekonomi global, yang bertangan dingin dan berbagai gelar lainnya.

Ia menjadi pengurus teras HIPMI dan Kadin pusat bersama dengan sejumlah pengusaha-pengusaha muda yang mencapai puncak karier mereka karena melanjutkan usaha orang tua mereka. Merekalah dulunya para pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan bisnis, yang telah ditempa dengan pendidikan luar negeri dan dimagangkan di berbagai perusahaan multinasional. Ia sendiri bukan siapa-siapa. Ia bukan berasal dari darah biru kerajaan bisnis. Suatu hal yang pasti, semua prestasi yang dicapainya bukan semata-mata karena nasib baiknya. Semuanya tak lebih dari peran Big Boss yang sangat peduli dan percaya padanya.

Hal yang tak diketahui orang kebanyakan, kecuali dia, Big Boss dan sejumlah orang kepercayaan Big Boss lainnya, performance perusahaan tidaklah seperti yang nampak di luar. Meski tetap liquid, perusahaan itu sebenarnya memiliki sejumlah sumber penghasilan fiktif. Gabungan beberapa perusahaan cabang setiap tahunnya mampu menghasilkan share hingga 40% dari total penghasilan penjualan, meski perusahaan-perusahaan itu sebenarnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ya benar, perusahaan ini tengah mempraktekkan money laundry atau pencucian uang. Di sinilah uang-uang yang berasal dari sumber yang tidak jelas disalurkan. Klien perusahaan sebagian besar adalah para bandar narkoba yang kesulitan menjelaskan perihal sumber uangnya ketika perbankan menerapkan praktek ketat menelusuri tabungan di atas Rp 100 juta. Sebagian lain adalah para koruptor yang tidak ingin mengambil resiko dengan menyimpan sendiri uang kotor mereka. Praktek lain yang dilakukan perusahaan adalah dengan meng-upgrade penghasilan yang wajib pajak. Dengan rasio likuiditas yang tinggi publik akan menilai perusahaan ini memiliki performance yang baik sehingga mendorong nilai jual saham perusahaan ini di bursa saham. Praktek ini banyak dilakukan di AS, yang terungkap setelah sebuah skandal keuangan melanda negeri Paman Sam ini.

Big Boss telah menjelaskan semuanya ketika ia mengangkatnya menjadi manager keuangan, dan memang sebelumnya ia memang telah curiga adanya hal yang tak beres dengan perusahaan ini. Maskito tak butuh waktu lama untuk memutuskan menerima pekerjaan itu. Ia tahu resiko jika menolaknya dan kehidupannya pun sudah membaik ketika itu sehingga tidak ada alasan dengan merusaknya hanya untuk sebuah pekerjaan yang sebenarnya mudah dilakukan secara teknis. Namun dari lubuk hatinya alasan sebenarnya dia menerima posisi dan resiko itu sebagai sebuah upaya balas budi atas semua perhatian dan nasib baik yang diberikan atasannya itu selama ini. Big Boss tidak memaksanya untuk menerima pekerjaan itu, namun tatapan penuh harapan dan persahabatan adalah sebuah pinta yang tak mampu ditolaknya.

(BERSAMBUNG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun