Mohon tunggu...
Ary Wibowo
Ary Wibowo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Semoga Istiqomah dalam kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanam Pohon : Seni Memetik Pahala (seharusnya bisa diterapkan dalam dunia politik: sebuah kritik)

25 Juni 2013   16:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:26 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ah kecut…. Mau lagi donk kupasin manganya Ayah! "Teriak anak sulungku. Ya sekitar 2-3 bulan kemarin pohon mangga di halaman rumah panen setelah hampir 4-5 tahun tidak pernah berbuah. Namanya juga mangga manalagi…buahnya bagus tapi pecah dan kadang dimakan kelelawar ..kalo belum masak akan berasa kecut tapi kadang ada yang masak dan bintik bintiknya adalah rasa yang paling manis karena hampir keluar gula seperti ubi cilembu. Alhamdulillah kadang ada tetangga yang minta karena pengen/ngidam maklum sedang hamil. Semua boleh ambil dan sekarang dah tuntas habis. Semoga tahun depan berrbuah lagi...amin.

Kadang aku termenung melihat pohon dirumah yang semakin besar, teringat akan almarhum ayahanda yang dulu bersusah payah menanam pohon manggaitu, dari menggali lubang, menyirami bahkan kalo cuaca sangat panas terik diberi payung, namun kini jangankan ikut merasakan buahnya, melihat rindangnya saja sudah tidak sempat. Coba kita ingat ingat lagi kisah teladan dibawah ini :

Suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeliling kota sambil menaiki kuda, beliau meninjau ibu kota untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyatnya. Di kejauhan sang khalifah melihat seorang yang sangat tua sedang menanam pohon kurma dengan asyiknya. Dengan perlahan sang khalifah mendekati orang tua tersebut, setelah turun dari kudanya, khalifah Umar bin Abdul Aziz turun dari kudanya dan mengucap salam kepada si orang tua dan bertanya,” Assalamu’alaikum sedang apa engkau wahai Pak tua?” Pak tua pun menjawab dengan ramah salam dari khalifah,” Wa’alaikum salam Tuan. Penulis sedang menanam pohon kurma tuan.”

Khalifah kembali bertanya,” Engkau kan sudah tua, buat apa menanam pohon kurma? Bukankah pohon kurma baru akan berbuah setelah menunggu bertahun-tahun lamanya? Apakah engkau masih hidup saat panen buah korma dari pohon yang engkau tanam?” Pak tua menjawab dengan tatapan mata yang berbinar-binar penuh semangat,” Memang benar, tuanku, usia hamba memang sudah tua, kalau hamba masih sempat memanen buah korma ini ya alhamdulillah, namun sekiranya saat panen tiba hamba sudah dipanggil oleh Allah dan sudah meninggalkan dunia ini tentu masih ada anak-anak hamba yang bisa memanen buah dari pohon ini. Seandainya anak-anak dan keturunan hamba pun telah tiada, bolehlah buah dari pohon ini dipetik oleh orang lewat yang membutuhkan . Dengan demikian sekali menanam pohon namun manfaatnya dapat dinikmati oleh banyak orang!”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz terpana mendengar penjelasan Pak Tua,” Sungguh pemikiran yang baik dari seorang hamba Allah yang ikhlas .” Demikian pemikiran khalifah di dalam hati,” Pak Tua, engkau memiliki pemikiran yang sangat bagus dan bermanfaat. Aku tersentuh dengan ketulusanmu, ini ada sedikit pemberian dariku untukmu, terimalah. Semoga rizqimu berkah.” Khalifah Umar menyodorkan sekantung uang kepada Pak Tua karena ia terpesona dengan pemikirannya. Pak tua menerima pemberian itu dengan sangat bahagia ia pun berujar,” Terima kasih tuan. Baru saja menanam sudah memetik hasilnya.” Alangkah indahnya dunia ini kalau banyak orang yang berpikiran dan bertindak seperti Pak Tua yang dengan ikhlas menanam, bekerja dan berbuat untuk kepentingan banyak orang dengan tanpa pamrih untuk kebaikan, dengan niat Lillahi ta’ala mengharapkan ridho Allah SWT.

Sumber cerita : http://muarahikmah.wordpress.com/kisah-kisah/

Nah..terkait cerita diatas memang almarhum ayahanda tidak mendapat uang atas jerih payah menanam pohon mangga tapi insya Allah akan mendapat “royalty” pahala yang tidak putus atas manfaat pohon itu, bisa dari orang yang berteduh karena kepanasan, buah yang dikonsumsi anak dan cucunya bahkan tetangganya dan manfaat lainnya. Inilah satu cara untuk mendapatkan cara mendapatkan pahala yang bisa dinikmati kelak pada saat kita meninggal karena termasuk amal yang akan menemani selain doa dari anak yang soleh dan ilmu yang bermanfaat. Nah kalo kondisi seperti Jakarta yang sudah sumpek dan kita susah menanam pohon bagaimana sikap kita. Kita ambil filosofinya saja, kita harus berfikir bahwa apa yang kita perbuat tidak harus kita yang memetik hasilnya. Jadi visinya jauh kedepan dan pola pikir seperti ini jelas dapat diterapkan di semua aspek kehidupan karena sebagai seorang muslim jelas haqqul yakin bahwa “royalty” pahala akan mengalir tanpa batas.

Karena akhir akhir ini berita berita yang hangat disekitar politik maka seyogyanya pola pikir tersebut dapat dijadikan contoh bagi semua Politikus, Parpol bahkan semua warga negara.Contoh ambil yang ekstrim kalo seorang Presiden RI terpilih maka semua usaha dan tenaganya 1000% untuk rakyat dan negara, sudah tidak ada lagi sekat-sekat bahwa dia seorang kader Parpol tertentu karena dia sudah mewakili dan diberikan amanah untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya, jadi tidak berpikir lagi saat periodenya habis bingung kok belum ada hasilnya. Harusnya tidak usah bingung karena bisa jadi apa yang diupayakan dalam masa kepemimpinannya akan berhasil nanti jauh setelah dia lengser. Hal ini jauh lebih baik karena memang tidak semua hasil bisa instant dinikmati, contoh lagi : kapan Timnas Indonesia bisa juara SEA GAMES, penulis ingat tahun 1991 pas lulus SD, masya Allah lama banget sekarang anak penulis saja sudah kelas 2 SD, regenerasi gagal dan maunya instant programnya seperti kirim tim Primavera, Barreti ke Italia, SAD ke Uruguay dan lain lain. Setiap penguasa selalu berharap hasilnya langsung bisa dipetik pada saat penguasa tersebut masih menjabat. Nah pola piker inilah yang harus diubah, sudah selayaknya pemimpin berbuat dan hasilnya nanti terserah sama Allah SWT biar yang atur, tapi syaratnta yah apa yang dibuat adalah kebaikan kebaikan yang bermanfaat karena kalo perbuatan maksiat yang dilakukan yang akan didapat jelas “royalty dosa”, Naudzubillah. Kenapa karakter karakter seperti ini tidak pernah terlihat di pemimpin pemimpin kita sekarang bahkan benar pendapat orang orang bahwa Negara Indonesia ini sedang krisis kepemimpinan, karena kalo mau jujur bisa jadi inilah hasil dari pola pendidikan di masa lampau entah siapa pemimpinnya waktu itu, rumit memang namun mau tidak mau bangsa ini harus menghadapinya.

Penulis akan memandang obyektif terkait dua contoh perbedaan yang jelas dalam ranah politik dan sekaligus menjadi kritik buat semua pelaku politik di tanah air, bagaimana Presiden kita yaitu SBY menjadi Ketua Umum “lagi” buat Partai Demokrat saat beliau masih aktif menjadi Presiden RI, dibandingkan saat seorang pemimpin partai “lain” malah mundur dari jabatan partai saat diberikan amanah menjadi menteri.Sekali lagi kalo pemikiran kita terjebak untuk hasil sesaat maka seni mendapat “royalty” pahala ibarat menanam pohon diatas tidak akan pernah tercapai. Biarlah rakyat Indonesia yang merasakan manfaat dari kebijakan kebijakan pemimpinnya insya Allah malah berpahala dibandingkan ribut ribut bagaimana mempertahankan kekuasannya.

Terakhir : Ini satu contoh yang luar biasa, kita tahu kan pohon jati, sangat bagus dan mahal buat kusen jendela, pintu dan furniture lainnya, penulis ingat perkataan almarhum ayahanda bahwa kayu jati yang sekarang bisa kita beli bisa jadi dulu yang menanam adalah kakek atau moyang kita sebelumnya sehingga jika kelak cucu kita yang akan memanen maka yang akan dipanen itu adalah apa yang kita tanam sekarang. Di daerah Jawa Tengah tempat penulis lahirpun banyak perkebunan jati yang dulu bekas dari jaman Belanda, jadi memang untuk pohon jati yang besar sangat lama tumbuhnya bisa membutuhkan puluhan tahun. Nah kalo kita berpikir jauh dalam mengelola Negara dengan berpikir jauh kedepan maka sudah selayaknya siapapun yang menjabat dan berkuasa tidak akan hanya sebatas mementingkan bagamana mempertahankan jabatannya karena “Jemaah “ yang sesungguhnya yaitu Rakyat Indonesia akan selalu menanti “buah buah” hasil karya pemimpinnya, seorang pemimpin tidak perlu cemas diakhir periode jabatannya karena kalau kebijakannya bagus dan berhasil maka “pencitraan pencitraan” itu dibuang ke laut pun tidak masalah. Tidak perlu diumbar di media rakyat bisa merasakan hasilnya dan ingat Malaikat pun tidak akan kering tintanya untuk mencatat semua kebaikan kebaikan yang dilakukan seorang pemimpin .

Semoga kritik ini bisa membangkitkan semangat kita agar peduli dan berpikir obyektif dengan isu isu politik yang hangat ini bahkan akan panas menjelang 2014 nanti.

13721542121727478830
13721542121727478830

Tulisan ini didedikasikan kepada Almarhum Ayahanda yang wafat pada tanggal 25 Juni 2009, semoga diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun