Mohon tunggu...
Wahyu A Tias
Wahyu A Tias Mohon Tunggu... -

Bekerja di eksekutif, bertindak sebagai eksekutor, kalau bersalah tinggal di eksekusi saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Meta Kognisi untuk Mobilisasi Kebijakan Kesehatan

19 November 2014   00:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:28 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah pengetahuan yang amat baru dan baru saja saya baca beberapa waktu lalu dalam tulisan Rhenald Kasali di Kompas.com. Dia sedang membicarakan tiga sosok wanita yang belakangan mengisi hari-harinya sebagai seorang dosen sekaligus pengamat ekonomi. tiga wanita tersebut adalah Ibu Moor, pemilik Mustika Ratu, Dian Sastrowardojo, artis yang sangat tersohor, dan yang terakhir adalah Susi Pudjiastuti, menteri kelautan dan perikanan yang dalam sekejap waktu jadi terkenal karena menuai banyak kontroversi terkait kehadirannya dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Ketiga wanita ini adalah wonderful women dengan self discipline yang tinggi dan kemampuan meta kognisi yang kuat sehingga mereka bisa terlahir menjadi sosok yang kuat dan diteladani oleh banyak orang. Kemampuan meta kognisi dulunya dikenal sebagai kemampuan non kognisi yang dibawa oleh seorang ekonom, James Heckman. kemampuan meta kognisi merupakan faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia dan praktisi handal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dan pembenaran, mampu membuka dan mencari pintu, adalah fondasi penting bagi pembaharuan dan kehidupan yang produktif.

Berangkat dari konsep ini, maka muncullah ide untuk menggagas pentingnya keberadaan seseorang di dalam sektor kesehatan yang memiliki meta kognisi yang bagus. Kompleksitas yang dibangun masing-masing profesi yang sangat berhubungan erat dengan kesehatan telah memunculkan banyak chaos. Setiap kali ada satu kebijakan yang muncul, pasti tidak semua berada dalam satu suara. Jarang sekali didapati bahwa beberapa profesi dalam bidang kesehatan berdiri dalam koridor yang sama ketika kebijakan kesehatan dikeluarkan, seperti  yang saat ini tengah terjadi adalah munculnya kebijakan Universal Coverage, kita kenal juga sebagai Jaminan Kesehatan Nasional yang berlaku sejak 1 Januari 2014.

Dalam tataran pendidikan saja, paham selama ini dianut tidak pernah mengalami perubahan yang berarti, sementara negara telah dipacu habis-habisan untuk berubah. Dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan penunjang lainnya tidak ditumbuhkan diantara pengajar yang memiliki pemahaman penuh mengenai pentingnya kesehatan atau mengenai sehat sebagai hak azasi manusia. Semuanya sepakat bahwa sektor inilah yang melahirkan pendapatan per kapita yang tinggi, bukan dari segi kemanusiaan melainkan profit sehingga pada saat memasuki ranah pelayanan yang lebih banyak dipegang oleh pemerintah, banyak yang terkaget-kaget. profitabilitas ditekan habis-habisan, kedaulatan finansial yang dulu pernah dijanjikan di masa sekolah, kini harus diterima dengan terbuka bahwa pelayanan publik bukan untuk mencari keuntungan.

Era JKN telah merampas kenyamanan yang selama ini dinikmati oleh pemberi pelayanan kesehatan, banyak hal yang harus disesuaikan. Ditambah dengan masalah moral dan mental, terjadi kecurigaan pada BPJS sebagai pengelola dana JKN. Muncul banyak cibiran dan istilah Banyak Pekerjaan Jasa Sedikit sebagai bentuk kalimat olok-olok bagi BPJS. Yang sebenarnya mengecewakan adalah alasan dari semua kekecewaan para pengampu kesehatan adalah karena uang. Pendapatan menurun, tapi daya saing dituntut untuk tinggi. Tidak seorangpun yang mahfum terhadap kondisi ini sebagai pijakan awal bagi penyelenggaraan salah satu sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional yaitu pembiayaan kesehatan. Jadi, tetap saja sub sistem ini tidak akan berjalan dengan baik dan mencapai stabilitasnya bila tidak didukung dengan penguatan pada sub sistem yang telah ada dan berjalan.

JKN adalah fitur baru bagi pengembangan kesehatan di Indonesia dan karenanya membutuhkan figur-figur yang memiliki meta kognisi yang kuat untuk memobilisasi kebijakan kesehatan yang tidak hanya memikirkan kepentingan pemberi pelayanan kesehatan, tetapi juga memikirkan hak rakyat untuk sehat. JKN bukanlah kunci pembuka kotak pandora yang membawa rentetan morbiditas dan mortalitas, JKN justru ingin menyelamatkan hak seluruh rakyat untuk sehat dan menyampaikan dengan santun pada para pengampu kebijakan bahwa kesehatan saat ini adalah urusan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun