Berita nasional ini dikutip dari Kompas.com - 26/11/2018, 06:27 WIB tentang kasus Baiq Nuril Perdebatan baru tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu kasus penyebaran rekaman asusila yang menimpa Baiq Nuril.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada tanggal 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia. Tujuan dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah untuk mengatur transaksi elektronik di Indonesia. Beberapa tujuannya adalah: Mengatur Keamanan dan Perlindungan: UU ITE bertujuan untuk mencegah pengguna internet dan transaksi elektronik dari ancaman seperti penipuan, peretasan, dan penyalahgunaan data pribadi. Menggalakkan Penggunaan Teknologi Informasi: UU ITE membuat kerangka hukum yang memungkinkan pengembangan dan penggunaan teknologi informasi yang efektif dan aman. Mengatur Hak dan Kewajiban: UU ITE menetapkan hak dan kewajiban pengguna internet, penyedia layanan, dan pihak terkait lainnya dalam dunia digital.Mengatasi Pelanggaran: UU ITE menyediakan dasar hukum untuk menangani pelanggaran seperti pencemaran nama baik, penyebaran informasi palsu, dan tindakan ilegal lainnya di internet. Tujuan ini senada dengan teori hak Asasi Manusia yang di kemukakan oleh Todung Mulya Lobis dalam teorinya yang ke dua yang disebut teori positivis Teori ini berpandangan bahwa HAM harus tertuang dalam hukum maka akan menimbulkan adanya jaminan konstitusi sebagai perlindungan hak. Indonesia sebagai negara hukum, harus menjamin HAM dalam suatu peraturan untuk mengatur dan menegakka HAM dalam kehidupan sehari-hari
Namun, perlu dicatat bahwa implementasi UU ITE juga telah menuai kritik terkait kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, perubahan dan penyelarasan terhadap undang-undang ini harus terus dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara perlindungan dan kebebasan. Seperti kasus yang menimpa baiq nuril yang memiliki indikasi bahwa UU ITE tersebut dimanfaatkan oleh segelintir kelompok  kelas 1 yang menindas segelintir kelompok masyarakat kelas 2 yang tidak paham dan terbatas pengetahuanya mengenai UU ITE tersebut.
Menurut berita yang tersebar menyampaikan bahwa Muslim seorang mantan kepala SMU 7 Mataram, melaporkan Nuril menggunakan UU ITE tersebut. Selama persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, Nuril dinyatakan bebas dari tuduhan. Namun, dalam kasasi yang diajukan oleh kejaksaan di Mahkamah Agung, ia divonis bersalah karena melanggar UU ITE. Menurut Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika, kasus Baiq Nuril dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat di era teknologi.
Dalam berita tersebut Rudiantara mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati saat berbagi dokumen elektronik karena Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah diberlakukan. agar masyarakat berhati-hati saat menggunakan digital juga. Menggunakan elektronik. Saat ditemui di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (25/11/2018), Rudiantara mengatakan bahwa menggunakan media sosial dan sistem pesan instan seperti WhatsApp.
Rudiantara juga menyatakan bahwa peraturan pemerintah tertentu tidak perlu merevisi atau menambah UU ITE. Ini karena aturan perlindungan perempuan yang sudah ada yang dapat memenuhi kebutuhan perempuan. Kemen kominfo akan berusaha memastikan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE tidak disalahtafsirkan atau disalahgunakan. Dalam setiap kasus yang berkaitan dengan UU ITE, dia berusaha menjadi saksi ahli. "Diproses itu ada yang namanya memanggil saksi ahli. Saksi ahli itu adalah dari penyidik PNS." Rudiantara menyatakan bahwa Kominfo memiliki lebih dari sepuluh penyidik PNS, dan biasanya mereka dihadirkan oleh Kementerian Kominfo.
Senjata bagi yang "kuat", Hasto Atmojo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengatakan pihaknya telah menangani banyak kasus terkait UU ITE. Ia mengatakan bahwa UU ITE lebih banyak merugikan rakyat kecil daripada undang-undang lain. Baiq Nuril bukan satu-satunya yang menjadi korban dari UU ITE tersebut. Hasto berpendapat, UU tersebut perlu segera direvisi atau dilakukan judicial review. Beberapa sarjana berpendapat bahwa, untuk menghilangkan atau mengurangi pengucilan sosial, perlu menyediakan sarana yang dilembagakan untuk pengakuan eksplisit dan representasi kelompok tertindas (Young 1989:393). "Saya desak dilakukan revisi atau judicial review terhadap undang-undang ini karena dalam praktiknya ini banyak mencelakakan orang kecil," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, ia pernah mendapatkan data bahwa pihak yang memanfaatkan UU ITE sebanyak 35 persen adalah pejabat dan 29 persen adalah profesional. Sementara, sebagian besar yang menjadi korban adalah mereka yang awam terkait UU ITE ini. "Artinya UU ITE ini memberi fasilitasi kepada elite," ujar Hasto. Pernyataan yang telah di kemukakan oleh hasto atmojo ini sangat senada dengan teori demokrasi yaitu bahwa "Demokrasi sulit dilakukan dalam situasi ketidaksetaraan yang terkonsentrasi di mana mayoritas besar yang miskin berhadapan dengan oligarki kecil yang kaya" (Huntington 1991:66).
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Meutya Hafid juga setuju dengan hal itu. Dia mengakui bahwa Undang-Undang ITE kerap digunakan oleh orang yang punya kuasa lebih besar terhadap orang yang kekuasaanya lebih rendah. Salah satunya terjadi dalam kasus Baiq Nuril. "Memang sayangnya banyak digunakan orang powerful kepada orang powerless," ujar Meutya. Meutya mengatakan, seharusnya ada sosialisasi lebih lanjut terkait penerapan UU ITE. Bukan hanya kepada masyarakat, melainkan juga pada penegak hukum yang menjalankan UU tersebut.
Meutya secara pribadi menentukan bahwa kasus Baiq Nuril ini tidak mengandung pelanggaran UU ITE. Dalam kasus Ibu Nuril itu masalahnya bukan di UU ITE. Masalahnya adalah di penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung, yang menurut saya tidak senafas dengan Undang-Undang yang dia gunakan untuk menghukum orang." Hal ini senafas dengan pendapat Rawls yang menjunjung tinggi prinsip 'kebebasan konstitutif', yakni kebebasan harus dibatasi oleh konstitusi yang adil dan netral hal itu hanya didapatkan di dalam negara demokrasi. Â Dengan catatan pembatasannya sebagai berikut: (1).Apabila pelaksananan kebebasan tertentu justru mengancam seluruh kebebasan sebagai sebuah sistem. (2).Apabila pembatasan itu dipandang penting bagi kemaslahatan bersama (common good). (3).Apabila pembatasan itu digunakan demi terpenuhinya kepentingan minimum dari kelompok masyarakat yang tidak beruntung (the least adventaged). Dalam berita tersebut Meutya mengatakan, bahwa Nuril bukan pihak yang menyebarkan rekaman percakapan asusila tersebut. Hasil persidangan di Pengadilan Negeri Mataram membuktikan hal itu. "Saya menyayangkan putusan MA terhadap Baiq Nuril. Saya justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri ya, menurut saya itu yang memiliki atau senafas dengan yang ada dalam UU ITE," kata Meutya, menyatakan bahwa keputusan PN Mataram sudah tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H