Singkat saja, aku jatuh cinta dengan buku. Ini memang cukup berlebih-lebihan, namun inilah fakta yang ingin ku katakan setelah membaca buku. Konon masa kecil, aku enggan melirik apapun berbau dengan buku, sukaku hanyalah berimajinasi, membayangkan banyak hal fiktif terjadi. Buku bagiku di masa kecil hanyalah soal tugas sekolah, selebihnya pengabaian. Semakin tumbuh dewasa, semakin banyak hal yang berubah, termasuk aku mulai melirik dengan sesuatu bernama buku.
Aku memang seorang pembaca amatir dan pemilih. Lebih suka membaca buku dengan tema tertentu. Namun ketika semakin banyak membaca buku dengan berbagai genre, disitulah aku mulai mencintai buku. Semakin bisa menyesuaikan apapun bacaan, intinya bisa membaca.Â
Namun waktu, seperti halnya kehidupan, tak pernah berhenti bergerak. Semakin dewasa, perlahan aku mulai melirik buku dengan pandangan yang berbeda. Awalnya, aku hanya membaca buku yang sesuai dengan minatku, tema tertentu yang memang sudah akrab di hati. Tapi seiring waktu, semakin banyak genre yang kucicipi, semakin dalam pula cintaku terhadap dunia literasi tumbuh.
Aku bukan pembaca yang rakus, melahap semua buku yang ada di hadapanku. Aku adalah pembaca pemilih, namun dengan setiap lembar yang terbuka, aku belajar bahwa membaca bukan sekadar soal menemukan cerita yang menarik, tetapi tentang menemukan diriku sendiri di antara barisan kalimat yang dirangkai dengan indah oleh para penulis hebat. Entah itu buku yang bagus atau tidak, menarik atau membosankan, aku belajar untuk tetap membaca. Sebab di setiap cerita, selalu ada pelajaran.
Hubunganku dengan buku terasa seperti persahabatan yang hangat, hubungan yang tak terpisahkan. Buku menjadi teman berbincang dalam keheningan malam, menawarkan pengetahuan dan inspirasi yang melampaui batas ruang dan waktu. Tapi seperti dalam banyak cerita cinta, godaan tak pernah jauh.
Godaan itu datang dalam bentuk benda kecil yang selalu ada di genggamanku: handphone. Awalnya, aku merasa praktis karena tak perlu lagi membawa buku cetak ke mana-mana. Dengan satu perangkat kecil, ribuan buku dalam format digital siap kubaca kapan saja. Hemat dan efisien, pikirku. Namun kenyataannya, membaca lewat handphone ternyata bukan tanpa tantangan.
Notifikasi yang terus berdatangan, pesan masuk, dan berbagai distraksi dari media sosial membuat konsentrasiku terpecah. Apa yang awalnya niat untuk membaca malah berakhir dengan skrol tanpa henti di platform sosial yang penuh dengan konten singkat dan instan. Fokusku hilang, dan lambat laun kebiasaan membaca buku mulai tergeser.
Aku mulai selingkuh dari buku. Hubungan kami yang dulu erat dan intim kini tergantikan dengan layar yang menyala terang. Handphone menjadi pelarian, tempatku menemukan hiburan instan tanpa perlu berpikir panjang. Bersamaan dengan itu, kamar tidurku menjadi zona nyaman yang terlalu nyaman. Di sanalah aku tidur dengan nyenyak, bercinta dengan handphone sembari menonton film atau berselancar tanpa tujuan di dunia maya.
Aku begitu menikmati fase tidur di kamar dengan handphone yang selalu dinyalakan untuk melihat banyak banyak dunia Hiperealitas. Dan kulupa satu hal, kasih tercintaku, yakni buku. Benda dengan juluki jendela dunia, sekaligus benda yang berisi banyak pengetahuan yang bisa ditambang sesuka-sukanya. Aku mulai perlahan melupakan buku, berpaling kepada sesuatu yang menurut ku paling nyaman, yakni handphone dan kamar. Ini memang satu tragedi yang menurutku adalah ironi nyata kehidupan yang kujalani.
Zona nyaman ini, yang awalnya terasa seperti surga kecil, perlahan menjadi jebakan. Kamar tidur dan handphone, dua hal yang memberiku kenikmatan sementara, membuatku melupakan cinta sejati yang pernah kumiliki dengan buku. Aku terlena oleh dunia hiperealitas yang penuh manipulasi, lupa bahwa di balik setiap lembar buku tersembunyi dunia yang jauh lebih nyata dan berharga.
Namun, cinta sejati tak pernah benar-benar hilang. Meski tersisih, ia tetap ada, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Aku mulai sadar bahwa hubungan segitiga antara buku, handphone, dan kamar ini bukanlah tentang memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, tetapi tentang menemukan keseimbangan. Buku tetap menawarkan kedalaman yang tak bisa kutemukan di layar handphone, sementara kamar tetap menjadi tempat perlindungan dari hiruk pikuk dunia.