Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dia Adalah Muksin, dan Dia adalah Bapak Saya

18 Desember 2024   17:17 Diperbarui: 18 Desember 2024   17:17 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia adalah Muksin, dan dia adalah bapak saya, selama-lamannya

Namanya Muksin, seorang laki-laki kelahiran 1971 di sebuah dusun terpencil yang nyaris terhapus dari peta. Ia lahir dari keluarga yang serba pas-pasan, bukan hanya dalam hal materi, tetapi juga dalam kesempatan. Masa kecilnya adalah kisah tentang perjuangan yang tak pernah lekang dari ingatan, cerita getir yang acap kali dibagikannya kepada anak-anaknya saat malam mulai menyelimuti, di sela kesunyian yang hanya diterangi remang lampu minyak saat mati lampu. 

Seorang bapak bercerita dengan malu-malu, sambil berlalu lalang tidak tentu cara memulainya. Anak-anaknya termasuk saya sendiri hanya bisa melihat bapak yang siap untuk bercerita. Lebih tepatnya, menasehati, bahkan membanding-bandingkan enaknya hidup zaman ini daripada masanya. 

Bagi bapakku, masa kecilnya jauh dari kesan bahagia. Ia sering mengisahkan bagaimana untuk bisa makan, ia harus lebih dulu memastikan sapi-sapi mereka mendapatkan makanan. "Kalau sapi tidak makan, maka aku juga tidak makan," katanya sambil tersenyum getir. Kalimat itu mungkin terdengar seperti lelucon bagi anak-anaknya, tetapi di balik tawa anak-anaknya, tersimpan rasa haru yang sulit diungkapkan, bagaimana bisa seorang laki-laki sekuat itu hidup, dan bahkan membesarkan anak-anak nakal seperti saat ini. Kisah itu mungkin terdengar seperti dongeng malam, tetapi tidak ada yang lucu jika harus benar-benar mengalaminya, sehingga seorang bapak bernama muksin menyekolahkan Anak-anak nya supaya tidak senasib dengan hidup. Berharap ada rumah besar kebanggaan bahwa seorang laki-laki dusun jauh dari kota berhasil menyekolahkan anak-anaknya.

Muksin, satu kata dari nama sederhana, seakan mencerminkan hidupnya yang juga sederhana. Namun, bagi penulis, laki-laki ini bukan sekadar seorang manusia biasa. Ia adalah segala-segalanya, sosok yang dengan penuh cinta dan pengorbanan membesarkan anak-anaknya. Jika harus diberi nilai, bukan hanya 100, bukan pula 1.000, tetapi tak terhingga. Bagi penulis, Muksin adalah pahlawan tanpa medali, pemimpin tanpa jabatan, dan guru tanpa ijazah.

Muksin tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Ia hanya sampai pada gerbang sekolah, di kartu keluarga tertulis sampai SMA sederjat,padahal hanya sampai lulus SMP saja, tetapi ia mampu membuka gerbang kehidupan yang lebih luas bagi anak-anaknya yang sebelum masa hidup di masa lalu ia tak bisa gapai, menyekolahkan dan mendidik anaknya dengan versi terbaiknya. Ia mungkin tidak mengajarkan ilmu dari buku, tetapi ia mengajarkan tanggung jawab, keteguhan, dan kerja keras melalui caranya sendiri. Ya begitulah, caranya yang terkadang keras seperti kerja rodi ala masa kolonial. Namun, di balik kerasnya itu, ada cinta yang begitu dalam, ada doa yang tak pernah putus untuk anak-anaknya.

Penulis adalah salah satu anaknya. Namanya Wahyu Trisno Aji, seorang mahasiswa S2 di UIN Sunan Kalijaga hari ini. Pendidikan yang sedang ditempuh penulis hingga saat ini adalah buah dari kerja keras dan pengorbanan seorang laki-laki bernama Muksin, serta istrinya, Purnawati. Bersama, mereka membangun keluarga yang penuh kasih meski penuh keterbatasan. Anak-anak mereka paling tua bernama Riswandi Purnama Putra, Wahyu Trisno Aji, Fitriati Wahyuni, dan Almini Sintiawati adalah bukti hidup dari perjuangan dan cinta yang mereka tanamkan.

Muksin, seorang di rumah kecil yang sangat jarang mengeluh, adalah sosok yang penuh perjuangan. Ia tak segan bekerja keras tanpa kenal waktu untuk menafkahi keluarga. Dalam segala kekurangannya, ia adalah teladan sempurna tentang bagaimana seorang ayah harus bertanggung jawab. Ia adalah guru pertama yang mengajarkan tentang hidup, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan.

Bagi penulis, sosok muksin tidak punya definisi. Ia sekarang bagai seorang teman meski berbeda umur. Meski dulu masih kanak-kanak dididik bagai penjajahan, namun sekarang muksin adalah seorang bapak, sekaligus teman. Bedanya penulis sering mengeluh banyak hal, sedangkan bapak tidak pernah mengeluh. Ia hanya tahu, bagaimana anak-anaknya sukses dan bahagia. 

Penulis bangga memiliki ayah seperti Muksin. Tidak ada rasa malu, tidak ada rasa kurang, hanya kebanggaan yang meluap-luap. Muksin adalah bukti bahwa pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalan untuk menjadi hebat. Ia adalah ayah, pendidik, pahlawan, pemimpin, dan segala hal terbaik yang bisa disematkan pada seorang manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun