Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teori Relasi Kuasa; Analisis Kasus Agus Buntung dalam Lensa Foucault

14 Desember 2024   18:24 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:24 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : DarkGeek / Radar Kediri / Pinterest

Hari-hari ini kita dihebohkan dengan berita seorang laki-laki dipanggil agus buntung, sesuai namanya, ia adalah manusia yang tidak memiliki tangan. Namun dijadikan dugaan tersangka karena melakukan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan. 

Disini kita akan bertanya-tanya, bagaimana caranya seorang laki-laki tak bertangan bisa melakukan sebuah kejahatan, dan bahkan kejahatan berupa pelecehan seksual itu tidak dilakukan sekali. Namun di beberapa sumber yang telah terupdate hari ini, banyak wanita yang melaporkan agus buntung karena telah melakukan pelecehan terhadap mereka. 

Sejauh data yang telah ditemukan penulis, ditemukan sekitar 17 korban wanita yang pernah dilecehkan oleh sik agus buntung. Ini menjadi berita menarik untuk dikaji, bagaimana bisa seorang difabel melakukan pelecehan seksual sebanyak. Tentu, ini menjadi kajian menarik lagi ketika dikaitkan dengan teori sosiologi yang dibawakan oleh tokoh Francis bernama Michel Foucault, teori terkenal nya dalam sosiologi yakni mengenai teori relasi kuasa. 

TEORI RELASI KUASA MICHEL FOUCAULT

Apa itu teori relasi kuasa dari Michel Foucault? . Secara sederhana, kita akan mendefinisikan teori relasi kuasa sebagai konsep kekuasaan yang berbeda jauh dari definisi kekuasaan yang diketahui banyak orang. Jika kebanyakan orang mendefinisikan kekuasaan sebagai bangku pemerintah, mencapai ruang politik untuk mengontrol aspek yang lebih besar, semua itu dalam definisi yang Sentral dan memiliki karakteristik vertikal (atas-bawah). Maka bagi Foucault, kekuasaan tidak berjalan sedemikian rupa, kekuasaan menurut Foucault adalah sesuatu yang meluas, menyebar dan ada dimanapun dan kondisi apapun. Tidak bersifat Sentral, dan tidak juga bersifat formal legal. Kekuasaan ada di mana-mana selagi ada syarat postulat utama, yakni "relasi" Yang membangun interaksi antar individu, maupun yang lebih besar individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. 

Definisi yang diletakkan oleh Foucault mengenai kekuasaan seperti ini sifatnya berada di garis horizontal sekalipun, artinya dalam ruang lingkup pertemanan, keluarga, hubungan pacaran dan bahkan aspek organisasi adalah kekuasaan itu sendiri. 

Foucault menjelaskan teori relasi kuasa memuat bahwa dimana ada kekuasaan, diisitulah ada relasi, dan setiap ada relasi pasti ada yang didominasi dan yang mendominasi; yang inferiori maupun yang superior, baik itu disadari maupun tidak di sadari ada terbentuknya relasi kuasa di sana. 

Teori relasi kuasa dalam pandangan Michel Foucault memuat bahwa ketika ada kekuasaan, maka akan ada potensi memproduksi pengetahuan sebagai kekuatan. Kekuatan dari pengetahuan inilah yang bisa menciptakan kekuasaan, yang arti kata di manapun ada kekuasan, pasti ada pengetahuan. Sebaliknya, dimanapun ada pengetahuan dalam relasi yang lebih superioritas, maka disitulah kekuasaan ada dengan menonjolkan dominasi. 

Konteks pemahaman kekuasaan yang dibangun oleh Foucault berangkat dari bagaimana kekuasaan bisa menciptakan dan memanipulasi pengetahuan manusia dengan kekuatan pengetahuan itu sendiri. Sehingga disepakati oleh Foucault bahwa garis konguren kekuasan dan pengetahuan adalah satu hal sama, yakni sama-sama memiliki kekuatan. 

ANALISIS KASUS AGUS BUNTUNG DENGAN TEORI RELASI KUASA MICHEL FOUCAULT

Kasus agus buntung yang diduga telah melecehkan banyak wanita merupakan sesuatu fenomena kasus yang unik. Dengan menjawab pertanyaan sebelum nya bagaimana sik agus buntung ini melakukannya. 

Dalam para pandangan Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri menjelaskan bahwa sosok agus buntung merupakan manusia yang sangat berbahaya. Sebab menurutnya, ia memiliki kemampuan memanipulasi orang lain untuk di kasihani, diberikan rasa empati karena kondisi mereka. Sehingga, ketika itu diberlakukan kepada seorang wanita, yang dimana jelas merupakan target yang tuju, strategi manipulasi seperti itulah yang membuatnya berhasil melecehkan seorang wanita, yang hingga banyak wanita yang melaporkan pelecehan yang dilakukan, menjadi bukti nyata bahwa kelakuan agus buntung memang Benar-benar secara sadar di lakukan. 

Adapun dalam pandangan dari Khadijah Alqi A. Yakni seorang psikolog menjelaskan bahwa sosok agus buntung dalam kasus mampu melecehkan banyak wanita ini merupakan bukti bahwa sosok agus memiliki kemampuan memanipulasi emosional seseorang. Dengan kemampuan inilah, siapapun jika dekat dengan sik agus buntung ini, dengan teknik manipulasi emosional nya, cepat membuat orang simpai dan bahkan empati kepadanya. 

Teknik memanipulasi emosional ini sendiri dapat di fahami merupakan kemampuan seseorang untuk memanipulasi orang lain untuk dikontrol untuk mewujudkan kepentingan tertentu dengan memanipukadi emosional mereka. 

Jika mengikuti jejak teori relasi kuasa Michel Foucault, maka didapatkan satu catatan penting bahwa kekuasaan adalah proses mempengaruhi orang lain. Namun, pengaruh itu berasal dari kekuatan yang sama-sama memodalkan kekuasaan dan pengetahuan. Dalam hal ini, terlihat jelas teknik memanipulasi emosional yang dilakukan oleh agus buntung dalam menarik korban sebanyak-banyaknya adalah bukti pengetahuan yang dimiliki nya sebagai kekuatan untuk menguasai seorang perempuan, yang pada akhirnya sik perempuan menjadi korban pelecehan dari manusia yang tak bertangan. 

Teori relasi kuasa dari Michel Foucault mencoba mendeskripsikan bagaimana kekuasaan itu tidak duduk nyaman di rumah pemerintah. Melainkan, kekuasaan itu menyebarluas, diakses oleh siapapun selagi mereka bisa ada ruang postulat "relasi" Yang kemudian ditunjukan siapa yang mendominasi dan didominasi dari kekuatan pengetahuan. Dari kasus agus buntung, terlihat jelas dari bagaimana agus buntung mendominasi dari kekuatan pengetahuan yang dimiliki nya ketika berbicara dengan para wanita yang menjadi target. Sehingga ketika ia berhasil memproduksi pengetahuan dengan kekuatan, yang akhirnya menghasilkan kekuasaan yang sebelum sudah menjolkan kekuasaan atas percakapan. Maka, lebih mudah baginya mendapat simpati dan empati berupa memanipulasi emosional para korban untuk dilecehkan. 

Jelas, kelakuan agus buntung jikapun Benar-benar dilakukan nya. Maka itu merupakan relasi kuasa negatif, dimana secara moral tindakan sik agus buntung merupakan tindakan tidak bermoral. Rasa simpati kepada dirinya dengan kondisi difabel tanpa tangan tentu memang sifat kemanusiaan. Namun, perlu dicatat bukan berarti jika banyak orang melihat kekurangan sebagai kekuatan, bukan berarti mengendalikan banyak orang untuk dikasihani, bahkan posisi buruknya dikasihani, merugikan orang lain lagi. Itu tentu sesuatu fenomena yang sangat unik, tetapi tidak bermoral. Dan semoga, suatu saat tidak ada lagi kasus seperti ini, cukup kekurangan di setiap kita menjadi rasa syukur dan tidak diperjualbelikan. Jangan menjadikan kekurangan kita sebagai kekuatan untuk menguasai orang lain untuk kepentingan diri dan merugikan pihak lain.

KESIMPULAN

Kasus Agus Buntung menjadi sorotan publik karena keunikannya: seorang pria tanpa tangan diduga mampu melakukan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan. Melalui teori relasi kuasa Michel Foucault, fenomena ini dapat dijelaskan dari sudut pandang kekuasaan yang tidak terbatas pada struktur formal atau fisik. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tersebar di mana-mana dan terjadi dalam relasi antarindividu, di mana selalu ada pihak yang mendominasi dan yang didominasi. Dalam kasus Agus, kekuasaan tersebut terlihat dalam kemampuannya memanipulasi empati dan simpati orang lain, terutama perempuan, untuk mendapatkan kontrol emosional yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk tindakan pelecehan. Teknik manipulasi emosional ini mencerminkan kekuatan pengetahuan Agus dalam memahami dan memanfaatkan relasi sosial untuk kepentingannya.

Dalam konteks ini, tindakan Agus dapat dikategorikan sebagai bentuk relasi kuasa negatif yang memanfaatkan kelemahan moral dan manipulasi emosional untuk mencapai tujuan pribadi. Keberhasilannya menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya bergantung pada posisi atau kekuatan fisik, tetapi juga pada kemampuan memproduksi pengetahuan yang menciptakan dominasi. Namun, tindakan ini tetap tidak dapat dibenarkan secara moral, karena merugikan pihak lain. Fenomena ini menjadi pengingat penting bahwa kekurangan fisik atau kondisi tertentu tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menguasai atau memanipulasi orang lain. Relasi kuasa seharusnya dijalankan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mengedepankan empati tanpa eksploitasi. Kasus ini juga menekankan pentingnya kewaspadaan sosial terhadap bentuk manipulasi emosional dalam berbagai hubungan interpersonal.

Referensi

1. https://www.medcom.id/video/medcom-nasional/yNLBP9gk-menguak-teknik-manipulasi-emosional-agus-buntung-dalam-kasus-kekerasan-se

2. https://wartakota.tribunnews.com/2024/12/07/korban-agus-buntung-jadi-15-orang-pakar-psikolog-forensik-sebut-sosok-super-berbahaya

3. https://www.google.com/amp/s/m.tribunnews.com/amp/regional/2024/12/13/korban-agus-buntung-tambah-jadi-17-orang-ada-anak-di-bawah-umur-videonya-sempat-viral

4. Foucault, Michel. "Power/knowledge." The new social theory reader. Routledge, 2020. 73-79.

5. Keller, Reiner. "Michel Foucault: Discourse, power/knowledge and the modern subject." The Routledge handbook of language and politics. Routledge, 2017. 67-81.

6. Syafiuddin, Arif. "Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa Michel Foucault)." Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18.2 (2018): 141-155.

7. Kebung, Konrad. "Membaca 'kuasa'michel foucault dalam konteks 'kekuasaan'di indonesia." Melintas 33.1 (2017): 34-51.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun