Kasus agus buntung yang diduga telah melecehkan banyak wanita merupakan sesuatu fenomena kasus yang unik. Dengan menjawab pertanyaan sebelum nya bagaimana sik agus buntung ini melakukannya.Â
Dalam para pandangan Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri menjelaskan bahwa sosok agus buntung merupakan manusia yang sangat berbahaya. Sebab menurutnya, ia memiliki kemampuan memanipulasi orang lain untuk di kasihani, diberikan rasa empati karena kondisi mereka. Sehingga, ketika itu diberlakukan kepada seorang wanita, yang dimana jelas merupakan target yang tuju, strategi manipulasi seperti itulah yang membuatnya berhasil melecehkan seorang wanita, yang hingga banyak wanita yang melaporkan pelecehan yang dilakukan, menjadi bukti nyata bahwa kelakuan agus buntung memang Benar-benar secara sadar di lakukan.Â
Adapun dalam pandangan dari Khadijah Alqi A. Yakni seorang psikolog menjelaskan bahwa sosok agus buntung dalam kasus mampu melecehkan banyak wanita ini merupakan bukti bahwa sosok agus memiliki kemampuan memanipulasi emosional seseorang. Dengan kemampuan inilah, siapapun jika dekat dengan sik agus buntung ini, dengan teknik manipulasi emosional nya, cepat membuat orang simpai dan bahkan empati kepadanya.Â
Teknik memanipulasi emosional ini sendiri dapat di fahami merupakan kemampuan seseorang untuk memanipulasi orang lain untuk dikontrol untuk mewujudkan kepentingan tertentu dengan memanipukadi emosional mereka.Â
Jika mengikuti jejak teori relasi kuasa Michel Foucault, maka didapatkan satu catatan penting bahwa kekuasaan adalah proses mempengaruhi orang lain. Namun, pengaruh itu berasal dari kekuatan yang sama-sama memodalkan kekuasaan dan pengetahuan. Dalam hal ini, terlihat jelas teknik memanipulasi emosional yang dilakukan oleh agus buntung dalam menarik korban sebanyak-banyaknya adalah bukti pengetahuan yang dimiliki nya sebagai kekuatan untuk menguasai seorang perempuan, yang pada akhirnya sik perempuan menjadi korban pelecehan dari manusia yang tak bertangan.Â
Teori relasi kuasa dari Michel Foucault mencoba mendeskripsikan bagaimana kekuasaan itu tidak duduk nyaman di rumah pemerintah. Melainkan, kekuasaan itu menyebarluas, diakses oleh siapapun selagi mereka bisa ada ruang postulat "relasi" Yang kemudian ditunjukan siapa yang mendominasi dan didominasi dari kekuatan pengetahuan. Dari kasus agus buntung, terlihat jelas dari bagaimana agus buntung mendominasi dari kekuatan pengetahuan yang dimiliki nya ketika berbicara dengan para wanita yang menjadi target. Sehingga ketika ia berhasil memproduksi pengetahuan dengan kekuatan, yang akhirnya menghasilkan kekuasaan yang sebelum sudah menjolkan kekuasaan atas percakapan. Maka, lebih mudah baginya mendapat simpati dan empati berupa memanipulasi emosional para korban untuk dilecehkan.Â
Jelas, kelakuan agus buntung jikapun Benar-benar dilakukan nya. Maka itu merupakan relasi kuasa negatif, dimana secara moral tindakan sik agus buntung merupakan tindakan tidak bermoral. Rasa simpati kepada dirinya dengan kondisi difabel tanpa tangan tentu memang sifat kemanusiaan. Namun, perlu dicatat bukan berarti jika banyak orang melihat kekurangan sebagai kekuatan, bukan berarti mengendalikan banyak orang untuk dikasihani, bahkan posisi buruknya dikasihani, merugikan orang lain lagi. Itu tentu sesuatu fenomena yang sangat unik, tetapi tidak bermoral. Dan semoga, suatu saat tidak ada lagi kasus seperti ini, cukup kekurangan di setiap kita menjadi rasa syukur dan tidak diperjualbelikan. Jangan menjadikan kekurangan kita sebagai kekuatan untuk menguasai orang lain untuk kepentingan diri dan merugikan pihak lain.
KESIMPULAN
Kasus Agus Buntung menjadi sorotan publik karena keunikannya: seorang pria tanpa tangan diduga mampu melakukan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan. Melalui teori relasi kuasa Michel Foucault, fenomena ini dapat dijelaskan dari sudut pandang kekuasaan yang tidak terbatas pada struktur formal atau fisik. Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tersebar di mana-mana dan terjadi dalam relasi antarindividu, di mana selalu ada pihak yang mendominasi dan yang didominasi. Dalam kasus Agus, kekuasaan tersebut terlihat dalam kemampuannya memanipulasi empati dan simpati orang lain, terutama perempuan, untuk mendapatkan kontrol emosional yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk tindakan pelecehan. Teknik manipulasi emosional ini mencerminkan kekuatan pengetahuan Agus dalam memahami dan memanfaatkan relasi sosial untuk kepentingannya.
Dalam konteks ini, tindakan Agus dapat dikategorikan sebagai bentuk relasi kuasa negatif yang memanfaatkan kelemahan moral dan manipulasi emosional untuk mencapai tujuan pribadi. Keberhasilannya menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya bergantung pada posisi atau kekuatan fisik, tetapi juga pada kemampuan memproduksi pengetahuan yang menciptakan dominasi. Namun, tindakan ini tetap tidak dapat dibenarkan secara moral, karena merugikan pihak lain. Fenomena ini menjadi pengingat penting bahwa kekurangan fisik atau kondisi tertentu tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menguasai atau memanipulasi orang lain. Relasi kuasa seharusnya dijalankan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mengedepankan empati tanpa eksploitasi. Kasus ini juga menekankan pentingnya kewaspadaan sosial terhadap bentuk manipulasi emosional dalam berbagai hubungan interpersonal.
Referensi