Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mencari Peran Ganda Mahasiswa: Batas Antara Peduli Negeri dan Keluarga

11 Desember 2024   11:34 Diperbarui: 11 Desember 2024   12:55 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Candycutechannel / Pinterest

"Mahasiswa hari-hari ini sangat sulit membedakan, mana yang memang sesuatu hal yang bukan hanya dirinya saja yang bisa melakukannya (sosial masyarakat,universitas, dan negara). Dengan bagian mana yang memang hanya merekalah yang bisa melakukannya, bahkan menjadi harapan dan jatung kehidupan (keluarga)"

Ada apa dengan universitas mu?, kau sampai membawa pedang yang telah kau asah itu. Padahal yang kutahu, pedang itu diberi oleh dosen di kampusmu?. 

Ada apa dengan universitas mu?, seperti aku melihatmu menjadi seorang dokter ahli untuk mengobati orang-orang gila. Sewaktu-waktu aku pernah bertanya kan?, siapa yang kau obati di Universitas itu?, dengan lantang kau menjawab dengan TOA di tangan kirimu, bahwa "memperjuangkan keadilan di bayang-bayang ketidakadilan".

Jadi setelah kau berkata seperti itu, aku mulai tahu bahwa universitas itu tempat orang-orang gila, setelah kau berkhotbah panjang lebar setelah aku mempertanyakan itu, aku mulai tahu bahwa universitas tempat orang-orang bodoh. Lalu aku juga tersadar, dan mulai tahu bahwa universitas tempat orang-orang cerdas, dan penuh akan jiwa perjuangan. 

Aku, melihatmu di posisi yang mana?, aku tanyakan sekali lagi, kau ada di posisi yang mana di Universitas itu?. Aku tau kau begitu melawan universitas tempatmu di didik itu, dengan banyak lembaran bukti bahwa universitas mu melakukan kebusukan. Tetapi, aku ingin tahu, dimana posisimu di universitas itu?, karena aku ingin tahu saja kau kah yang jadi pahlawan di hamba-hambakan oleh mahasiswa banyak itu. 

Jika benar, maka aku berterima kasih atas segala perjuanganmu. Tetapi, aku sarankan saja. Kau memperjuangkan hak kehidupan bangsa ini, katamu dengan penuh membara bagai api yang membakar jiwa. Tapi ingat, kau adalah manusia yang akan hidup dengan perjuangan tidak sekali hidup; kau adalah manusia yang duduk suatu masa untuk memperjuangkan hidup; dan kau akan hidup dengan keluarga, teman, saudara yang berharap padamu untuk tidak sekedar hidup. Namun, kau hidup untuk memberi banyak harapan untuk dirimu sendiri dan banyak orang, sehingga lihatlah dirimu sekarang. Apakah teriakanmu berhasil?, jika iya, kau luar biasa. Tetapi aku ingin tanyakan, sampai kapan kau harus berbicara sendiri di masa semesteranmu yang sudah tua itu?, kau tahu kan bapak ibukmu, serta saudaramu di rumah itu rela menahan lapar mereka demi kuliahmu. 

Iya, terserah seperti apa yang akan kau lakukan. Itu adalah hakmu saja, aku hanya memberitahumu bahwa kau harus menyeimbangkan antara apa yang kau perjuangkan untuk banyak orang yang tak hanya kau sendiri bisa lakukan, dengan memperjuangkan apa yang memang hanya kamu seorang yang menjadi harapan. 

Aku ingat, seorang bapak menangis karena tidak mampu membayar kuliah anaknya. Sedangkan sang anak dengan bejatnya pacar-pacaran saja semasa kuliah, yang membuatnya tidak lulus-lulus sampai semester tua. Ada lagi, seorang keluarga hidup pas-pasan, tetapi memiliki anak yang punya idealis melawan sistem negara, tetapi untuk di rumah saja, sang anak engan makan-makanan seadanya. 

Iya, kita adalah mahasiswa kan, dengan idealisme yang tak pernah bisa tertahan. Katanya, mahasiswa sebagai pengubah dan penerus bangsa. Mereka adalah penyeimbang demokrasi ketika negerinya terancam tak stabil. Begitu pentingnya mahasiswa itu, begitu berharga mahasiswa itu, dan dimanapun mahasiswa adalah orang-orang hebat dan anak emas bangsa. Namun, yang perlu dicatat bahwa, anak emas itu bukan soal melangit, tetapi membumi yang tidak sekedar hanya soal perdebatan panjang soal sistem Universitas dan negara yang tidak baik-baik saja, namun tak kalang penting bahwan di rumah seorang mahasiswa punya keluarga yang harus di mengerti, mereka adalah jantung kehidupan keluarga. Namun berbeda cerita jika kau kaya sebagai mahasiswa,sebebas-bebasnya kau mau lulus kapan. Namun bagaimana jika kau lahir dari keluarga sederhana, selalu ada di ukuran kecukupan, kuliah dibiayai orang tua, dan kita sebagai mahasiswa masih senang bercengkarama dengan sistem universitas dan negara yang harus di gugat, dengan sebuah anggapan kitalah yang satu-satunya yang bisa melakukannya. Jangan sampai idealisme menjadi mahasiswa membuat seseorang melumpuhkan harapan keluarga yang berharap besar terhadap kita (intinya saya ngasih tau ke mahasiswa hidup dengan keluarga dan dibiayai orang tua secara khusus). Mahasiswa bukan tentang bagaimana memperbaiki sistem negara saja, tetapi mahasiswa adalah mereka punya visi misi kehidupan sendiri untuk memperbaiki nasib dan mengangkat derajat keluarga, bukan sebuah kewajiban, tetapi itu adalah cerminan seorang yang terdidik untuk menyeimbangkan dimana langit di pandang dan dimana kaki menginjak bumi. 

Baik aku dan kamu adalah sama, cuman beda saja cara kita menjadi seorang mahasiswa. Entah seperti apa caranya, tetapi banyak hal yang harus diingat, tidak ada yang salah dalam memperjuangkan nasib bangsa, nasib kampus, dan nasib keluarga. Tetapi, jangan sampai semua berat sebelah, dan melupa karena idealisme kita sebagai mahasiswa. Mematikan harapan dari sesuatu yang memang hanya kitalah yang mampu melakukannya (soal keluarga) dan memilih fokus dengan melakukan sesuatu yang memang bukan hanya kita yang bisa melakukannya (soal kehidupan sosial; seperti kampus, masyarakat, negara). Menyeimbangkan sesuatu yang bijak, jangan sampai tenggelam dengan idealisme buta sebagai mahasiswa yang melangit saja, ingat bumi masih luas, senyuman ibu bapak, adik kakak perlu kita sapa. Lalu bercerita kita akan lulus secepatnya untuk sesuatu hal yang lebih besar, lebih kasar, dan lebih tidak masuk akal lagi. 

"Kita memang punya pilihan sendiri, keluarga bukan satu-satunya, tetapi kita sangat membutuhkan keluarga. Universitas dan Negara bukan satu-satunya, tetapi kita ingin universitas dan negara yang berintegritas dan sejahtera. Namun, perlu diingat bahwa mahasiswa bukan memilih salah satunya, tetapi keduanya beriringan dan harus di rangkul"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun