Manusia tercipta dengan penuh kisah dramatis. Mahkluk satu ini dengan spesial diciptakan hanya untuk menjadi Khalifah di muka bumi. Tentu tidak semua pihak setuju dengan terciptanya manusia, ada mahluk ciptaan tuhan iri kepada manusia dalam penciptaan, sampai dengan keberadaan tugasnya.Â
Rasa iri lahir, dari Makhluk tersebut, siapa pun mungkin tahu mahkluk yang di maksud. Tuhan menciptakan manusia, dengan segala emosi dan kecerdasan yang dimiliki. Tuhan menunjukkan pada semua ciptaan, termasuk para malaikat dan jin betapa luar biasa manusia. Dalam diri manusia ini, ada rasa kasih sayang, empati, peduli, rasa hormat, angkuh, jahat, benci dan tentu juga kemarahan. Manusia tidak diciptakan dalam oposisi biner, melainkan penuh dengan makna pencarian yang masih misteri, salah satu misteri itu adalah emosi manusia dalam kemarahan.Â
Kemarahan adalah emosi yang muncul secara alami ketika harapan tidak terpenuhi atau ketika seseorang merasa disakiti. Menurut Al-Ghazali, marah adalah sesuatu yang wajar, dan orang yang tidak marah sama sekali justru dianggap lemah. Namun, kemarahan harus dikendalikan dan tidak dibiarkan begitu saja. Orang kuat, bukanlah mereka yang pandai dalam kekuatan fisik, tetapi mereka yang mampu menguasai diri saat marah. Kemarahan yang tidak terkendali bisa mendatangkan akibat buruk, dan ini sejalan dengan pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa kemarahan adalah darah yang mendidih dalam hati karena keinginan balas dendam. Jika kemarahan berkurang, seseorang akan merasa sedih, namun jika meningkat, kemarahan bisa memicu kegilaan.
Namun, mengungkapkan kemarahan dengan cara yang tepat adalah hal yang sulit. Aristoteles dalam Nichomachean Ethics menekankan bahwa marah kepada orang yang tepat, dalam ukuran yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan tujuan yang tepat adalah sesuatu yang tidak mudah dan jarang bisa dilakukan. Inilah yang membedakan kemarahan yang sehat dan terkendali dengan kemarahan yang merusak. Marcus Aurelius dalam Meditation juga menekankan bahwa akibat dari kemarahan sering kali lebih buruk daripada penyebab kemarahan itu sendiri.
Dalam menghadapi kemarahan, beberapa tokoh memberikan solusi terbaik, seperti Ibnu Hazm yang menyarankan untuk diam dan merenung saat marah, karena kata-kata yang diucapkan dalam kemarahan sering kali disesali di kemudian hari. Khalil Gibran menambahkan bahwa kemarahan adalah kegelapan yang menyelimuti hati, namun cinta adalah penerangnya.
Kemarahan dan agresi sering kali disalahartikan sebagai hal yang sama, padahal berbeda. Marah adalah emosi, sementara agresi adalah tindakan negatif yang sering kali lahir dari kemarahan yang tidak terkendali. Terdapat beberapa tingkatan kemarahan, mulai dari iritasi, frustrasi, kedongkolan, kemarahan sedang, hingga amarah yang intens. Pada tingkat tertinggi, seseorang bisa kehilangan kendali dan melampiaskan kemarahan dengan tindakan negatif seperti berteriak atau memukul.
Ada juga jenis-jenis khusus kemarahan, seperti chronic anger atau kemarahan yang terus-menerus tanpa sebab, passive anger yang tersembunyi dan tidak berani diungkapkan, serta internalized anger, yaitu kemarahan yang dipendam dan tidak diekspresikan secara eksternal. Psikologi mengakui bahwa kemarahan bisa menjadi emosi primer atau sekunder. Emosi primer adalah reaksi langsung terhadap suatu kejadian, sementara emosi sekunder merupakan reaksi terhadap emosi lain.
Menurut teori kognitif, kemarahan muncul dari atribut, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau penilaian yang subjektif. Sering kali, manusia memproyeksikan kemarahannya kepada orang lain, atau mengalihkan kemarahan kepada objek lain yang tidak relevan, seperti memarahi keluarga di rumah setelah dimarahi atasan di tempat kerja. Dalam beberapa kasus, seseorang juga mencari alasan rasional untuk membenarkan kemarahannya, meskipun sebenarnya tidak rasional.
Kemarahan lahir dari rasa tidak puas, dendam terhadap sesuatu hal. Ketika marah, ada rasa yang ingin di capai dengan emosi, rasionalitas disembunyikan di balik labirin dalam kemarahan yang membara. Tidak ada nilai baik dalam kemarahan tanpa dasar. Manusia boleh marah, tidak ada manusia yang tidak bisa marah, namun kemarahan haruslah dikendalikan, bukan di lepaskan tanpa kontrol dari individu.Â
Mengatasi kemarahan bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengenali pemicu, melakukan relaksasi, mencari suasana yang berbeda, atau mengalihkan perhatian ke hal-hal yang menyenangkan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menyarankan untuk mengenali penyebab kemarahan, menunda reaksi, mengubah posisi fisik, berlindung kepada Allah, dan menghitung konsekuensi dari kemarahan.