Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Tidak Benar-benar Mati

27 September 2024   18:11 Diperbarui: 27 September 2024   18:27 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : MiddleJourney / Pinterest

Kabar kematian Tuhan pernah diungkapkan oleh manusia modern, ketika mereka banyak melihat fenomena yang tak lazim bagi manusia. Mendewakan diri mereka, saling menyalahkan, saling mencaci maki dan paling buruknya ialah saling membunuh karena perbedaan. 

Perbedaan itu tumbuh dari rasa ketakfahaman, kebodohan dan jelas itu semua muncul dari kurangnya pengetahuan. Jelas, kita akan bersepakat bahwa manusia modern banyak dalam posisi yang ambiguitas, munculnya aliran eksistensialis, idealis, nihilisme sampai absurditasisme disebabkan dari banyaknya elemen pertanyaan yang tak terpuaskan. Termasuk persoalan tentang ketuhanan yang ada di ruang sidang pengetahuan manusia. 

Diskusi persoalan Tuhan adalah diskusi panjang, dan tidak pernah terhenti sampai kalimat "sepakat" Dalam jawaban. Selalu saja ada rintangan dialektik dan bahkan pembodohan jika berdebat soal ketuhanan, yang pada ujungnya, banyak generasi manusia yang mulai menunjjukan taring mereka, baik yang pro maupun yang kontra.

Jikapun mereka-mereka itu menghina tuhan, mencaci, memfitnah, dan bahkan membunuhnya. Tuhan tidak sekecil dan serendah itu. Namun, kitalah yang bagian dari prasyarat-prasyarat yang memungkinkan Tuhan itu mati, baik oleh Nietzsche, freud, Albert camus, hawking, marx, dan bahkan Dawkins, mereka tidak membunuh Tuhan yang menciptakan alam semesta dan isinya. Tetapi, mereka membunuh tuhan yang dijadikan objek fitnah oleh manusia. Sehingga ketika manusia merasa kalah, Manusia sendiri bertanggungjawab atas tindakan nya. 

Ini akan memunculkan satu diskusi yang sangat panjang, siapa yang sebenar nya disembah oleh para manusia?, apakah itu benar-benar para Tuhan, atau adalah para manusia Tuhan?. Karena Tuhan tidak akan dalam posisi rendah jika ia dihina sekalipun, karena prinsip paling fundamentalis adalah, ia pencipta. Jadi, hak prerogatif dari pencipta untuk melakukan banyak hal, tanpa ada rasa intimidasi dari bagian eksternal, atau bahkan keseluruhan ciptaanya. 

Para filosof, ilmuwan, ateis dan bahkan kepercayaan-kepercayaan terhadap humanitas. Tidak benar-benar membunuh Tuhan yang maha pencipta dan isinya, maha pengatur dan segala maha yang sebenarnya. Tetapi, mereka membunuh para Tuhan-Tuhan berkeliaran di otak manusia yang fanatisme, tidak memberikan ruang kemanusiaan pada orang lain. Padahal, Tuhan menciptakan semua tanpa ada diskriminasi, mereka yang kulit putih-hitam, banyak bahasa, banyak suku, dan banyak agama. Lahir dari perspektif kemanusiaan, namun mereka malah membuat bisnis sepihak pada kepercayaan, untuk membuat peperangan dengan antar manusia, dengan menjual nama Tuhan. 

Itu sangat konyol. 

Dan bahkan bobroknya manusia hingga kini, mereka telah tertipu oleh daya ego yang menguasai. Mereka bahkan, tidak bisa membedakan kepercayaan dan kemanusiaan. Kepercayaan diartikan sebagai kebenaran, dan semua kebenaran selain di dalam kepercayaan itu salah, dan harus dimusnahkan. Inilah perspektif yang salah, mana mungkin orang buta dan tuli pada situasi seperti ini. Jika agama difungsikan sebagai ruang membunuh, maka sama saja lebih baik tidak mengadakan adanya agama sekali-kali. 

Perlu diketahui, semua agama mencintai kemanusiaan, sehingga meskipun setiap agama memperoleh kebenaran nya, tetap ada ruang kemanusiaan yang masih hidup. Perlu diketahui dengan ketat, bahwa posisi kemanusiaan bersifat universal, dimanapun dan kapanpun ia Hadir secara eksistensial di muka bumi. Manusia bisa menjalaninya tanpa harus memikirkan "kamu golongan siapa", kemudian membuat justifikasi " Kesalahan karena interpretasi subjektif dari agama ". Ada ruang kemanusiaan yang hidup tanpa harus ada agama, ialah Hak asasi manusia (HAM). Meskipun demikian, agama membawa kedamaian, yang jelas-jelas mendorong kemanusiaan, jika benar-benar orang-orang mempraktekkan dan memahami agamanya. Jika kebenaran diposisikan mutlak pada hasil tuhan, dimana manusia menilai dalam posisi kehidupan, tanpa ada prasangka buruk yang berlebihan, seperti kebencian dan pembunuhan. Maka filsuf, ilmuwan, politikus, dan jenis-jenis kepercayaan lainnya akan bersatu, dan tidak membunuh Tuhan atas nama kemanusiaan. Karena, mereka telah jauh melangkah, tidak ada keegoisan sendiri-sendiri, tribalisme agama sudah direduksi sampai titik kritis, juga pada ruang gelap gulita fanatisme sudah diberikan lampu. Yang terlihat sekarang, adalah cahaya kehidupan, machiavelli sampai hawkins tidak lagi mempredebatkan Tuhan, meskipun agama hadir. Akan diperjuangkan kemungkinan kemanusiaan yang metropolitan, dimana tidak ada lagi soal pertengkaran atas perbedaan, namun hanya ada integrasi,integritas dan hal-hal baik semua. Itulah langkah yang mungkin dibangun, jika Benar-benar manusia Tuhan telah mati dibunuh, manusia yang mengaku dirinya Tuhan dengan ego saling menuduh perlu di perdebatkan, dan diusir fikiran buruk. 

Itulah yang mungkin saja dicita-citakan oleh para pembesar dan sekaligus pembenci metafisika, membunuh manusia ber-ego Tuhan. Sehingga, pada akhir nya, manusia lah yang selamat, tenang dan sekaligus berdansa atas nama kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun