Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia, Berpikir, dan Arah Identitas

25 Desember 2021   06:24 Diperbarui: 25 Desember 2021   06:30 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berpikir memang salah satu komunikasi yang paling harfiah yang terjadi di antara diri sendiri dengan dirinya yang memang tak bisa terinderawi. Namun dalam proses berpikir, manusia bisa menunjukkan aspek aspek dirinya sebagai makhluk berakal. Kemampuan seperti inilah yang dimiliki hanya oleh manusia sendiri, dikarenakan manusia sudah melalui evolusif bertahan hidup dengan tahapan tahapan hierarkis secara gradual, sehingga hal ini menjadi sebuah data otentik yang begitu holistik dalam pengaplikasian dalam rentetan mempertahankan spesiesnya.

Bisa diidentifikasi bahwa kehadiran manusia adalah tentang makna makna kokoh, menemukan bukti empirisme dan rasionalisme dari data data statistik bahwa manusia memiliki tipikal penting dari mahkluk lain yang eksis di muka bumi. Ciri khas itu ialah berfikir sebagai proses menentukan alur bagaiamana manusia melihat kondisi dan situasi dari identitas dirinya dalam hal salah satunya berfikir.

Identitas adalah ciri Bagaimana manusia menemukan dirinya ke dalam makna terdalam. Dengan inilah berfikir adalah solusi yang paling mudah di lakukan manusia untuk memperkenalkan identitas nya. Dengan kesadaran yang tinggi, manusia mampu secara alami menjadi dirinya dikenal sebagai mahkluk kesadaran tinggi dengan menunjjukan identitas identitas berfikir dalam menentukan pilihan pilihan aktif, bukan problematika berfikir pasif.

Potensi manusia berfikir menampilkan bahwa eksistensialisme kehadiran dari berfikir merupakan cara/metode yang kondusif untuk memecahkan masalah hidup. Dengan berfikirlah manusia mampu mengekspansi ranah ranah apa saja yang urgensi perlu di lakukan, jika terjadinya pembenaran dalam makna tersebut, jalur apa saja yang di gunakan supaya potensi untuk terjadinya ketidakseimbangan kemampuan berfikir tidak terjadi pada jangka yang panjang, sehingga kemudian untuk mencapai puncak kondisi yang vertikal puncak. Maka berfikir dengan tersistematis,logis,mendalam sekaligus terstruktural adalah pilihan-pilihan yang faktual, namun orientasi dibutuhkan dalam menemukan identitas yang baru.

Dari sini, berfikir akan menemukan kalkuasi berupa hasil hasil yang di buat dalam hal mikro berupa partikular spekulasif. Jika ini berkenaan dengan berfikir tidak memungkinkan mencari identitas dalam bentuk makna yang jelas, dan komposisi dari hasil berfikir masih tidak berstreotipe tentatif. Maka perlunya falsifikasi secara mendalam dan menemukan objek dengan jelas adalah solusi berfikir yang lebih kompherensif. Untuk itu, berfikir Memang secara literal menentukan dua hal yang urgensi. Pertama mengenai subjek berfikir dan kedua mengenai objek berfikir. Kedua hal ini menentukan bagaimana apa saja yang terjadi dalam harapan hipotesa-hipotesa aksiomatis. Namun untuk kejelasan yang pasti lagi. Maka manusia akan bisa memastikan itu dengan lebih realitas jika logikanya manusia dengan anggapan manusia mahkluk berakal bisa di jelaskan dalam bentuk teori maupun tindakan tindakan yang bisa di jelaskan.

Beralih dengan berfikir, subjek berfikir ialah kondisi kondisi kongnitif dalam urgensi diri dalam bentuk yang masih abu terjadinya fenomena fenomena hasil yang terlihat dari dampak diri sendiri yang menjadikannya terjelaskan. Dalam subjek bisa di pastikan berfikir ditentukan hanya dari data internal (dalam diri manusia). Yang kemudian konsekuensi nya ialah memungkinkan probabilitas probabilitas dari peluang berfikir sentral dalam jangka yang panjang dikarenakan sudah mempertahankan sejak awal masalah diri yang sebagai penentu Masalah kesubjekan. Seperti contoh manusia sebagian kesadaran menentukan ilmu pengetahuan dikatakan sebagai peneliti mendapati gelar ilmuwan, kemudian anak anak yang diajarkan di sekolah formal akan disebut sebagai guru. Ini adalah contoh subjek berfikir yang memang jelas identitasnya sudah dimiliki secara kompherensif. Kesadaran nyapun disadari dalam jangka yang panjang.

Kemudian yang kedua adalah berfikir objek. Dalam tahapan ini Manusia mengindentifikasi dirinya bukan pada hanya dalam diri saja. Melainkan sentralisasi berada pada faktor eksternal. Menentukan tahapan tahapan identitas sudah melampaui bagian internal. Mereduksi tahapan lama dan berfokus pada apa yang ada pada luar dirinya sebagai kesadaran subjek yang membenarkan dirinya. Objek memang diidentifikasi sebagai alasan untuk menggangap kondisi kondisi objek berada dalam hierarkis yang jelas. Jika terdapat data data eksternal, maka di pastikan itu berhubungan dengan keintiman sebuah data dalam identitas menemukan dirinya. Jadinya berfikir dalam tahapan ini berupaya untuk menemukan jawaban secara objektif dan universal dalam jangkauan yang panjang, walaupun tahapan tahapan tersebut bermula dari jangkauan pendek. Probabilitas yang terlihat adalah berupa eksistensialisme kehadiran dalam segi makna, untuk itu penemuan ketidakhadiran objek tidak memungkinkan untuk di determinasi. Walaupun cara yang digunakan adalah mereduksi bagian bagian partikular, tapi tidak mungkin data inderawi objektif di reduksi secara total, melainkan ada residu yang berbentuk partikel partikel problema yang masih tetap eksis sebagai asumsi maupun berupa transformasi menjadi hipotesa, walaupun itu relatif sementara.

Proses berfikir manusia memang tergolong kan gradual, apa lagi berkenaan dengan tema tema sentris ketika tidak memungkinkan identitas identitas yang jelas dalam probabilitas yang enigma. Untuk itu, berfikir dalam dimensi akal Memang menjadi pilihan yang lugas dan kuat ketika manusia menjalani bukan hanya sekedar teoritis semata. Dalam menerapkan kondisionalitas seperti ini, maka tidak mungkin berfikir merupakan instrumentasi induksi dalam ranah intelek yang bisa saja di gunakan sebagai instrumen fundamentalis.  memang sulit untuk menentukan batasannya sampai tahapan yang mana, namun probabilitas Sera hierarkis, maka berfikir adalah konsep pengetahuan manusia untuk berkomunikasi menentukan pilihan alternatif dalam pemikiran diri manusia sebagai salah satu mahkluk yang sadar akan EKSISTENSIALISME.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun