Mohon tunggu...
wahyu aji
wahyu aji Mohon Tunggu... -

seorang pembelajar, pekerja, sekaligus praktisi di bidang komunikasi dan sosial. juga, seorang suami dan ayah Satria :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sarimin Mengajak Kita ke Pasar

13 Desember 2009   14:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kepada responden wanita/pria usia 18 - 35 ditanyai, lebih nyaman berbelanja di supermarket/hipermarket atau pasar tradisional? Konon, sebagian besar memilih yang pertama.
Alasannya, lebih praktis, bersih, tidak ribet tawar-menawar, aman dan .. yang pasti bisa memenuhi tuntutan hidup modern yang lebih cepat.

Saya pun, karena juga masih berumur di rentang usia responden tersebut, apalagi golongan pria, juga punya jawaban yang kurang lebih sama.Hingga dalam seminggu ini saya kembali rindu ke pasar tradisional yang dari saya kecil hingga kini suasananya hampir selalu sama, di daerah manapun di Indonesia.

Bahkan saya sekarang justru bisa bicara, di pasar tradisional ternyata semua ada, dan banyak nilai lebihnya dibandingkan dengan pasar modern yang kebanyakan merupakan jaringan waralaba.
Inilah nilai-nilai pasar yang saya temukan kembali, setelah pagi tadi saya ke pasar lagi bersama istri:

1. Di pasar tradisional bisa menawar. Bagi sebagian orang pasti ini persoalan yang tidak praktis, bertele-tele, dan tidak ada standar harga yang jelas. Tetapi sebenarnya dalam tawar-menawar di pasar tradisional ada satu nilai yang semakin sering kita tinggalkan: berbincang-bincang dengan orang yang baru dikenal. Pedagang di pasar adalah orang yang baru, bahkan mungkin tidak kita kenal. Tapi mau tak mau kita harus saling sapa, saling tebak perasaan, saling tanya. Di pasar modern? Anda tak perlu repot-repot melakukan ini. Bahkan kalau mau, Anda bisa parkir kendaraan, masuk, muter-muter berjam2 dengan keranjang dorong, tanpa interaksi lisan atau saling bertukar pandang barang sekedippun dengan semua orang di dalam pasar modern terserbut. Tapi semua kebutuhan yang Anda cari tetap terpenuhi.

2. Di pasar tradisional, harga yang saya dapatkan memang tak jauh beda dibanding dengan di pasar modern. Tapi saya mendapat banyak bonus, terutama do'a dan ucapan selamat macam2. Seperti
tadi pagi, istri saya yang hamil besar hanya membeli dua potong handuk (bagus2, saya kira dengan uang Rp 27.000 kami tak mungkin mendapatkan dua potong yang seperti itu di carefour), dan sambil menyerahkan bungkusan berupa tas kresek hitam, si penjual dengan bahasa Sunda memberikan ucapan perpisahan yang kurang lebih artinya "Hati-hati ya Mbak, semoga sehat dan lancar lahirannya dst .."
Saya belum pernah mendengar kasir di pasar modern mengucapkan hal yang sama kepada kami, kecuali senyum tipis karena SOP dan ucapan terima kasih yang lamat-lamat nyaris tak terdengar karena mungkin sudah kecape'an berdiri di depan mesin kasir berjam2.

3. Di pasar tradisional, kita bisa berjumpa dengan macam-macam orang, dari yang kaya hingga
pengemis, bahkan orang gila yang meracau tak karuan. Ada pula copet (melatih hati-hati). Dan dari orang-orang itu, kadang terdengar pembicaraan yang ada-ada saja, dari politik, ekonomi, hingga tontonan dangdut semalam. Pembicaraannya tak harus bermutu, tapi gurih didengar. Saya merasa jadi sangat berwarna. Di pasar modern? Semua diam .. diam .. dan diam kecuali dengan teman atau keluarga yang diajaknya. Tapi anehnya, justru orang2 di pasar modern menjadi sangat anggun dengan masing2 diamnya tersebut. Kelihatan sangat modern, terdidik, dan .. cantik.

Itulah sementara tiga, nilai-nilai yang saya temukan lagi di dua kali kunjungan saya ke pasar tradisional dalam minggu ini. Bukan sebagai public figure, bukan sebagai caleg, bukan juru kampanye, bukan pejabat kota, bukan siapa2, kecuali belanja kebutuhan sehari2.

Bewarna dan meriah sekali, seperti tokoh Sarimin, ketika disoraki oleh tuannya dengan genderang seng seraya berkata .. "Ya .. Sariimiin pergi ke pasar ..".

Ah, merdu sekali, sangat Timur, sangat Indonesia. Mari cintai pasar tradisional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun