Entah kenapa lelaki ini mendekati tempatku duduk. Dia adalah penjual bakso malang yang kerap nongkrong di depan TK saat aku menjemput si kecil. Yang kusuka darinya adalah bahwa dia orang yang banyak cakap, banyak tawa, dan banyak canda.
Namun kali ini dia mendekatiku bukan untuk tertawa, apalagi bercanda.
“Baru nikah, Mas...” Dia menunjuk arah warung Indomie di depan kami; yang dimaksudkannya adalah penunggu warung itu yang telah lama tutup dan baru semingguan ini buka.
Aku meringis.
“...Asyik ya. Menikah.” Dia menatap jauh.
Aku ingat pernikahanku.
“...Istri saya pergi, Mas. Lebaran kemarin kami masih kumpul...Habis Lebaran entah dia pergi kemana...”
“Ndak dicari?” aku bertanya, mencoba memberi tanggapan pada kepahitan itu.
“Orang sudah kepengin pergi, masak saya cari, Mas? Mungkin sudah ndak suka sama saya...Taktahulah...” Dia meringis pahit.
Dia kemudian melanjutkan bercerita tentang pernikahannya, tentang istrinya yang ditinggal merantau ke Jogja dan hidup di sebuah kota kecil di Jawa Timur sana –seakan ingin melepaskan semua beban hatinya.
Dan aku menjadi wadah bagi semua keindahan yang berakhir pahit itu. sebuah tragedi yang menggerus hati, yang menarik untuk didengar namun bukan untuk dijalani itu. Dan dia menceritakannya dengan tertawa, walau tawa yang kosong mengiris hati –tawa-tawa orang kesepian yang berusaha menutupinya namun gagal.
Dia adalah orang kedua yang banyak tawa namun membawa luka itu.
Di sebelah barat dari TK kami, aku dan istri sering pula menjadi sasaran curhat seorang penjual lotis. Jika kami kebetulan mampir, dan kebetulan lagi sepi pembeli, maka akan meluncur semua pendaman hatinya itu. Terakhir kali curahan hatinya itu penuh kepahitan pula yang, entah kenapa, bisa mirip dengan kisah si bakso malang.
“Ya ampun, Mbak...kula kedah pripun, nggih? Anak saya dua...Ikut Mbahnya semua. Istri saya pergi, entah kemana, Mbak...Lebaran lampau masih baik-baik saja...Saya balik ke...(dia menyebut sebuah kota kecil di Jawa Tengah) dua bulan lalu dia sudah pergi. Saya telpon ndak pernah diangkat...Entah dimana sekarang saya ndak tahu, Mbak...Sebenarnya saya lagi bingung, Mbak...”
Kami berdua hanya bisa meringis kecut dan agak kaget plus helpless mendengar fakta pahit itu; plus kami juga terharu karena mendapat kepercayaan mendengarkan kisah-kisah sendu itu.
Mungkin mereka berdua hanya pucuk-pucuk gunung es, dan sebenarnya mungkin masih banyak lagi kisah sendu yang menyelip di antara kami, yang sengaja tidak akan dinampakkan karena sang empu cerita belum mau mengungkapkannya. Dan mungkin seperti para dua sahabat itu, mereka lebih suka menutupi keperihan itu dengan segala canda dan tawa. Mungkin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H