Ada perbedaan antara seorang abangan dengan seorang alim saat salat Jum’at. Begitu masuk mesjid, orang alim akan mencari saf paling depan dan melakukan salat mesjid; sementara abangan akan mencari tempat yang dianggapnya tidak terlihat dari mata pak khatib, kemudian duduk melanjutkan kantuk yang mengejar dari rumah tadi atau mengelus lengan yang habis dicubiti istri karena mau membolos jum’atan lagi.
Seorang alim akan mendengarkan khotbah pak khatib dengan tertib dan tenang, betapa kebenaran yang keluar itu telah didengarkannya seribu kali atau lima kali, karena setiap perulangan adalah kelezatan ilahiah yang takterkira.
Seorang abangan menentukan nasib dan kadar kelezatan ilahiah yang akan dicecapnya sesaat sebelum khotbah Jum’at dimulai, saat takmir mesjid mengumumkan siapa gerangan yang akan menjadi khatib kali ini. Jika yang khotbah adalah Kiai Bejo (bukan nama sebenarnya) dia akan sedikit bersorak karena akan mendapat 15 menit pencerahan jiwa yang asik dan menyedapkan. Jika jatuh pada Kiai Paijo (bukan nama sebenarnya pula), maka habislah nasibnya. 15 belas menit kebenaran itu akan terasa menjadi 1.5 jam kebosanan dan sumber kantuk yang dahsyat.
Seorang alim menganggap Jum’atan sebagai suatu kebutuhan, layaknya buku-buku tasawuf bagi Kiai Santa Barbara UCLA, atau satu edisi National Geographic Kids bagi si cantik. Ia telah menjadi bagian hidup yang ketiadaannya membuat hidup pincang dan tidak berarti. Weh, sungguh level yang dahsyat. Sementara bagi abangan ia masih dalam level kewajiban. Sesuatu yang kudu disodokkan padanya agar dia tidak melenceng dari menjadi muslim yang baik. Dan sodokan itu harus benar-benar nendang bagi seorang abangan, kalau perlu dengan grujukan seember air, membuat hang laptopnya, atau mencubitinya sampai membiru, hingga dia mau berangkat Jum’atan. Begitulah, itu tidak perlu dimakhlumi, tapi memang begitulah abangan yang baru sampai pada level kewajiban.
Masih banyak lagi perbedaan antara orang alim dan abangan, namun berhubung hari memang benar-benar Jum’at, dan menjelang Jum’atan pula; dan lagian istri telah berkacak pinggang sambil memasang muka kecut dibelakangku, maka kucukupkan dulu tulisan miring ini. Aku harus Jum’atan dulu….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H