“Bah, itu apa?”
“Kuburan.”
Kami berdua sedang berjalan-jalan sore dengan si Vega melewati rute tengah, menyusuri persawahan utara JEC, menyisir kompleks AKAKOM. Persis di utara kampus tersebut, ada sebuah kuburan.
“Kuburan? Kuburan itu apa, Bah?”
“Tempat orang mati.”
“Kenapa mati, Bah? Baterenya habis?”
“Ndak, dimatiin Tuhan.”
“Tuhan? Siapa Tuhan, Bah?
“Yang membuat Dek Bara….”
“Apa, Bah?”
“Yang membuat Dek Bara.”
Bara adalah si bungsu dari kakak istriku.
“Dek Bara kan beli di Puskesmas, Bah…”
Weh. Mulai lagi, nih. Gawat. Bagaimana menjelaskan entitas seabstrak Allah kepada anak 3.5 tahun? Vega Kupelankan, pikiran kuputar. Macet. Yang keluar malah pengulangan dari pernyataanku sebelumnya dalam versi yang berbeda.
“Tuhan itu yang membuat dek Hatta.”
Hatta adalah bungsu dari adikku sendiri.
“Dek Hata kan beli dari Mirota, Bah.”
Setiap pernyataanku dijawabnya dengan pertanyaan atau pernyataan yang lain. Hasilnya tentu saja perputaran yang tidak ada ujungnya, yang membuat si kecil semakin bersemangat dan aku semakin pusing. Di rumah, si kecil masih meributkan Tuhan, hanya saja sekarang berganti menanyai dan membuat pusing ibunya –dan baru kalem kembali setelah diberi Taro dua bungkus.
Aku sangat yakin bahwa dalam setiap diri manusia, secara default, Tuhan telah mematrikan sebuah program kecil namun hebat yang sewaktu-waktu bisa bangkit, karena suatu hal atau peristiwa, dan mengubah alur perjalanan hidup mereka: sebuah program untuk mengenali penciptanya. Kuharap peristiwa kuburan itu bisa menjadi pemantiknya untuk menuju proses tersebut; seperti halnya harapanku dahulu yang selalu menginginkannya, entah kenapa, bisa meneriakkan adzan yang bisa membangkitkan bulu kuduk seperti teriakan adzan Omnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H