Berbicara masalah agraria, maka tidak lepas dari tanah, petani, sewa tanah, pedesaan, jenis tanaman yang ditanam, pajak, kemiskinan dan lain-lain. Permasalahan agraria di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pemerintah Kolonial, yaitu cuulturstelsel atau sistem tanam paksa (STP) tahun 1830, kemudian adanya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 sebagai warisan Kolonial yang telah meletakkan dasar-dasar hukum bagi para penguasa Kolonial dalam memfasilitasi akumulasi modal perusahaan-perusahaan Eropa yang berinvestasi di Hindia Belanda dengan membentuk perkebunan-perkebunan kapitalis untuk memproduksi komoditi-komoditi ekspor. Yang menarik dari adanya Undang-Undang Agraria ini adalah posisi petani yang notabane sebagai pemilik tanah, tidak mempunyai hak milik untuk menggarap tanah, mengapa hal itu bisa terjadi?
Melihat potensi tanah yang sangat penting bagi Kolonial, maka berbagai politisasi tanah diatasnamakan negara guna mencapai tujuan untuk menguasai tanah tersebut. UU Agraria yang disusun oleh de Waal berisi dua hal yang pokok, yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk berkembang di Indonesia, di samping “melindungi” hak-hak rakyat Indonesia atas tanahnya. Maka, dikenallah hak erfpacht (hak kepada pemilik modal untuk menggunakan tanah seluas maksimum 1500 bahu/350 ha dengan jangka waktu maskimal 75 tahun dengan membayar canon/sewa maksimum f 5 setiap bahu setiap tahun). Hal inilah yang membuat secara drastis struktur agraria yang menyangkut tanah milik para pangeran sehingga petani menjadi rugi, karena banyaknya jenis sewa tanah yang membebankan petani. Misalnya, sistem pajeg, sistem glebagan, dan sistem bengkok. Kebutuhan ekspor tanaman-tanaman hasil perkebunan dan pertanian menyebabkan berbagai lahan semakin menyempit, sehingga pemerintah Kolonial pun melakukan transmigrasi ke daerah luar Jawa, semakin banyak buruh yang tidak mendapatkan upah, maka kesengsaraan semakin meningkat sehingga banyak kritik yang ditujukan kepada pemerintah Kolonial seperti van de Putte. Bagaimanakah nasib petani selanjutnya?
Pada tahun 1909 pemerintah memutuskan untuk menata kembali struktur agraria tanah milik pangeran. Tujuannya adalah menghilangkan sistem tanah hadiah bersyarat, penyerahan hak agraria yang lebih memadai kepada petani Jawa, pembentukan masyarakat desa dan perbaikan sistem perpajakan. Untuk mendapatkan semua itu, petani harus membayar dengan menunggu selama 50 tahun sebagai ganti dari haj konversi, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan tenaga kerja biasa atau tanpa upah. Hal ini diperparah lagi dengan Jepang yang menduduki Indonesia, tanah menjadi semakin rusak. Banyak petani di desa-desa yang dimobilisasi untuk menduduki tanah partikelir, perkebunan milik asing, dan tanah hutan yang kemudian menggarap tanah-tanah tersebut menjadi lahan pertanian. Dengan adanya hak konversi tersebut, maka timbullah berbagai aksi protes para petani. Berdirilah organisasi-organisasi petani, seperti BTI (Barisan Tani Indonesia), STTI (Sarekat Tani Islam Indonesia), dan lain-lain. Apa yang diajukan oleh para petani dinilai oleh panitia Tanah Konversi masuk akal karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 27 dan 33. Hak konversi kemudian dibubarkan dengan keputusan UU Nomor 13 tahun 1948. Pada 21 Mei 1948, Soekarno membentuk Panitia Agraria Yogyakarta yang bertujuan untuk merumuskan program agraria republik. Pada tahun 1958 terjadi peristiwa pengambilan perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan perkebunannya yang disebut dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda.
Pembaharuan Undang-Undang Agraria yang dibentuk di Yogyakarta ini harus selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, pengembangan kebijakan yang jelas dengan masa depan pertanian dan perkebunan menjadi sulit karena adanya pandangan yang sangat berbeda dengan pemimpin Indonesia dengan partai-partai politik yang ada. Kelompok moderat mengakui kedudukan penting perkebunan sebagai pengumpul devisa negara dan mereka cemas akan masa depan perkebunan. Lain halnya dengan kelompok nasionalis sayap kanan yang menentang kehadiran pengusaha perkebunan asing dan menuntut pengusiran mereka dengan ganti rugi yang layak, sedangkan kelompok nasionalis sayap kiri dan khususnya yang berhalauan Marxiz menuntut pengusiran semua pengusaha perkebunan Barat tanpa ganti rugi. Yang menarik dari artikel yang dibagikan adalah banyaknya perbedaan ini, baik antara para pejabat maupun antar-tindakan dan intruksi dari Jakarta, ternyata sudah disadari akan menimbulkan kesulitan bagi mereka sendiri dan bahkan dapat dibayar dengan kedudukan mereka. Maka, menurut saya hal ini menandakan bahwa sejak dahulu para pembuat kebijakan sulit sekali untuk memperhatikan nasib rakyat, mereka cenderung “asal penguasa senang”, inilah yang menyebabkan tanah yang notabane milik petani, tidak pernah ada kebijakan yang benar-benar berpihak kepada petani. Jika kita melihat kebijakan Orde Baru dengan program Repelita yang paling menonjol adalah swasembada beras, tetapi kenyataannya tanah itu sebagai politisasi pemerintah, bukan tanah sebagai aset petani untuk kemakmuran, harusnya petani mempunyai hak yang luas dalam mengolah tanahnya, tanpa adanya kebijakan yang merugikan petani.
Dewasa ini jika kita lihat, berbagai masalah tanah menjadi konflik yang tak kunjung selesai, dari Poso sampai Lampung. Konflik tanah yang berujung pada nyawa. Inilah permasalahannya karena tanah yang harusnya milik petani, tetapi justru digunakan sebagai politik negara guna mendapatkan keuntungan. Negara lupa adanya hukum adat yang memang tidak bisa digantikan dengan hukum nasional. Pemerintah kurang memperhatikan nasib petani. Indonesia sebagai negara agraris harusnya untuk import terhadap hasil pertanian, terutama padi, harusnya tidaklah terjadi. Akhir-akhir ini, kesulitan pangan menjadi masalah yang bangsa, banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Maka, seberapa jauhkah tanah yang ada di Indonesia itu didayagunakan? Bagaimanakah pemerintah mendayagunakan tanah tersebut, yang jika kita kembalikan pada UUD 1945 pasal 33 sangat jauh berbeda dengan kenyataan yang ada?
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat saya peroleh adalah masalah agaria yang notabane Indonesia sebagai negara agraris masih menjadi masalah yang tidak kunjung selesai. Tanah yang menjadi milik petani harusnya dikembalikan kepada petani, bukan milik negara yang mengatur segalanya. Pemerintah jangan terlalu melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap tanah dan petani sehingga tidak terjadi konflik yang memperebutkan tanah, dan juga Undang-Undang Agraria segera direvisi dan dibuat kebijakan tentang agraria yang sesuai dengan adat dan disesuaikan dengan wilayah-wilayah yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harusnya membendung modal-modal asing yang justru merugikan petani lokal sehingga permasalahan agraris segera dapat diselesaikan dapat meningkatkan ekonomi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H