Mohon tunggu...
Wahyu Setyaningsih
Wahyu Setyaningsih Mohon Tunggu... -

mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Sejarah tahun 2008 dan lulus 2012 dari program master ilmu sejarah di UGM. Nulis, turing, membaca, diskusi adalah hobiku. Jurnalis adalah salah satu cita-cita ku. tantangan dan penelitian adalah dua hal yang ku sukai. membaca itu adalah wajib, meski hanya satu kalimat.\r\nfb. mutiara sekar kasih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangka Timah dan Lada Mentok Pemukiman Cina di Sebuah Pulau Indonesia Eropanisasi Pertambangan Timah 1850-1913

31 Juli 2013   07:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:48 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang disajikan oleh Mary F. Somers Heidhues yang berjudul Bangka Tin and Mentok Pepper Chinese Settlement on an Indonesian Island sangat menarik. Beberapa fakta yang disajikan tentang pertumbuhan penduduk di Cina yang terjadi di Bangka, perubahan jumlah produksi timah di Bangka, Belitung dan Singkep dari 1852 sampai 1913. Bangka merupakan kawasan penghasil timah terbesar pada waktu itu dan orang cinalah yang kebanyakan menjadi pekerja di sana. Yang menjadi pertanyaan, kenapa Cina yang menjadi pekerja di Bangka, mengapa tidak orang Jawa atau orang asli Bangka saja?

Cina merupakan salah satu komunitas yang paling besar di Sumatra. Yang menjadi faktor kenapa Cina menjadi komunitas terbesar di Sumatra karena pada waktu pemilik pertambangan dan perkebunan lebih menyukai pekerja Cina daripada pekerja Jawa dan arus masuk orang Cina ke Singapura dan Penang yang sangat besar setiap tahun antara 1880-1930 sehingga pasokan pekerja sangat banyak sekali. Namun, jangan salah untuk menggunakan pekerja Cina ini tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan oleh kenijakan yang dilakukan Inggris dan tipu muslihat “coolite brokers” (calo kuli) di Straits Settlements. Selain itu dari sisi historis dapat diamati bahwa orang-orang Cina antara abad ke-VII dan ke-XII, mereka datang ke Sriwijaya dalam berbagai motif yang dilakukan, seperti singgah karena sebelum menuju India untuk belajar agama Buddha, selain itu mereka juga bermotif berdagang. Menjelang akhir abad ke-XIV para pedangan kaya asal Canton yang menentang Dinasti Ming merebut kendali atas Palembang, bekas ibukota Kerajaan Sriwijaya. Hal ini mendorong Ceng Ho untuk melakukan intervensi bersenjata pada 1407; ia membawa penguasa Canton kembali ke Cina. Kemudian pada tahun 1589, para kapal Cina menuju dikirim ke Asia Tenggara, tujuh kapal yang ditugaskan mengumpulkan lada di pelabuhan Palembang dan Jambi. Dalam abad berikutnya kehiatasn orang Cina terpusat pada pertambangan timah di Bangka dari sekitar tahun 1750 dan perkebunan lada di Kepulauan Riau dari tahun 1740. Namun, pemukiman Cina terusik dengan kedatangan Belanda. Pada tahun 1866 terjadi Konverensi Inggris-Perancis-Cina yang mengatur emigrasi orang Cina, pengadaan pekerja Cina dan pengangkutan mereka ke Straits Settlements. Kemudian pada tahun 1877 terdapat Peraturan Cina (Chinese Immigrants Ordinance), kemudian diganti dengan Ordinance IV yang berisi sebuah kategori “penumpang belum membayar” yang terdaftar dan dibawa ke “coolie depots”, depot kuli, berlisensi yang memiliki wewenang hukum untuk menahan mereka do bawah pengawasan pemerintah. Mengapa timah menjadi barang yang diperebutkan oleh orang-orang Eropa dengan Cina? Apa yang menarik dengan timah?

Cina merupakan pekerja kuli yang berkonsentrasi dalam penambangan timah. Jika kita melihat yang terjadi di California dan Australia pada waktu itu, maka tidak heran jika timah Bangka menjadi perebutan, karena pertambangan emas yang terjadi di California dan Australia tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Bangka. Sistem pertambangan yang dilakukan oleh kuli-kuli Cina adalah secara manual, tidak terlalu banyak menggunakan teknologi mesin. Para pekerja kuli berhasil memajukan pertambangan timah di Bangka. Jauh sebelum adanya revolusi industri yang terjadi di Barat, timah sudah digunakan oleh Dinasti Ming sebagai bahan baku mata uang, dan juga sebagai bahan baku pembuatan barang-barang perunggu lainnya. Melihat timah begitu penting, maka orang-orang Barat mulai berdatangan dan mulai melakukan eropanisasi, salah satunya adalah dengan mengganti sistem pertambangan menjadi modern, dengan menggunakan ala-alat mekanik lainnya. Hal ini menyebabkan keadaan sosial masyarakat Cina menjadi pengangguran, dan keadaan alam menjadi rusak karena eksploitasi secara besar-besaran. Maka, orang-orang Cina tidak lagi menjadi kuli timah, tetapi beralih profesi menjadi petani ladang lada. Inilah mentalitas orang Cina yang patut dicontoh. Lalu, bagaimanakah dengan Belitung?

Keadaan pertambangan timah di Bangka mengalami titik balik, justru Belitung kini menjadi saingan timah Bangka. Ketika jumlah kebutuhan akan timah bertambah, sedangkan Bangka sudah tidak lagi produktif, maka Belitung tampil sebagai produsen timah. Hal ini juga berkaitan dengan pemisahan wilayah Bangka dan Belitung, yang mana awalnya Bangka merupakan wilyah yang tingkat ekonomi lebih tinggi dari pada Belitung, tetapi karena eksploitasi besar-besaran oleh orang Barat, maka menjadi sebaliknya keadaan Bangka.  Eropanisasi yang dilakukan orang Barat justru membuat dampak yang merusak lingkungan dan mengacaukan perekonomian masyarakat. Apa yang terjadi di Bangka dan Belitung ini juga sama yang terjadi di Deli Sumatra.

Dengan demikian, yang dapat saya simpulkan adalah timah mampu menarik orang-orang luar, seperti Cina dan orang Eropa untuk datang ke Nusantara, dan mampu merubah perekonomian dan sosial masyarakat. Timah memberikan sebuah pelajaran tentang mentalitas orang Cina yang memiliki etos kerja dan semangat dalam berbagai keadaan, serta selalu bisa melihat celah untuk bisa memenuhi kebutuhan, selah satunya dengan lada yang menjadi pengganti mata pencaharian mereka setelah timah dikuasi Barat.

Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra, diterjemahkan oleh Masri Maris dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: KITLV & NUS Publishing, 2011), hlm. 192.

Anthony Reid, Southeast Asia in The Age of Commerce, Vol II: Expanasion and Crisis, (New Haven: Yale University Press, 1993), hlm. 18-19.

Anthony Reid, op.cit. hlm. 193.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun