(Ke-1)
"Kang, engkaulah Arjunaku, mengajarkanku memanah, saat aku telah mahir, aku akan memanah hatimu!"
"Dik, engkaulah Srikandiku, panahlah hatiku, lalu bawalah serpihannya, simpan ya, tunggu aku, aku akan selalu untukmu!"
Alunan musik syahdu yang mengiringi keduanya, menambah keromantisan pertemuan itu.
Siapa menduga, mereka terperangkap oleh panahnya asmara, cinta yang tak membelenggu, murni oleh kesucian kalbu. Cinta tak memaksa dan dipaksakan. Cinta hanya untuk cinta. (Seperti) Arjuna dan Srikandi.
"Tapi aku tak seindah yang kau kira, kakang! Aku hanyalah seorang wanita biasa saja, jika dibandingkan dengan ketampananmu. Aku, ah, mungkin orang akan mentertawakan keanehan ini. Seorang wanita tomboy, jauh dari kata cantik dan gemulai. Sedangkan kamu, memiliki grade tinggi. Tak matching! Sungguh njomplang, kang!"
"Duh, dinda, mengapa kau mengatakan itu? Tidakkah kau tahu, hatiku telah terpaut padamu bukan karena kecantikan parasmu. Kau memiliki hati yang cantik. Berhati lemah lembut. Bagai bidadari, percayalah padaku."
Betapa memerah pipi sang wanita, bagai Srikandi yang terpanah oleh sang Arjuna, melayang bagai tak menapak tanah.
"Tapi kakang....,"
"Sudahlah, dinda. Kau adalah laksana bintang kejora yang cemerlang!"
"Ah, kakang, jika aku bintang kejora, lalu kakang apa?"