Ara memeriksa arlojinya. Pukul dua belas lebih sepuluh. Biasanya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menengok ke arah pintu kedai. Seseorang akan masuk dan menuju meja nomor sepuluh. Jika nomor sepuluh terisi, ia akan menuju meja tujuh dekat wastafel. Ara hapal betul. Dan ia akan segera bangkit membawakan daftar menu untuknya.
"Silakan, mau pesan apa?" tanya Ara dan dijawab sendiri olehnya dalam hati, "Nasi goreng seafood dengan ceplok telor dan segelas jus apel,"
Lalu tanpa menengok daftar menu, seseorang tadi mengatakan hal yang sama dengan apa yang ada dalam pikiran Ara, persis. Selalu sama.
Setelahnya, seseorang itu akan sibuk dengan gadgetnya, sambil menunggu pesanan tersaji di hadapannya. Tak kurang tak lebih. Selesai makan, ia menuju kasir dan pulang, berlalu dari kedai.
Ara penasaran, siapa gerangan dia. Cowok itu memang berwajah lumayan hangat, sedikit ramah, tapi rutinitas yang dilakukan mirip robot dan dingin. Hampir tak menyisakan waktunya untuk berbasa-basi. Ara menduga, pasti ia adalah seorang seniman, karena rambutnya sedikit gondrong namun rapi tersisir. Mungkin juga seorang penulis, karena matanya tak pernah lepas dari gadget dan seperti menulis sesuatu. Jangan-jangan ia adalah novelis. Lalu Ara tertawa dalam hati, karena menduga sesuatu yang konyol mirip spionase.
***
Seperti biasa, di jam yang sama, ia datang. Vira pegawainya nyaris bangkit membawakan daftar menu, tetapi Ara mencegahnya. "Aku saja, Vir."
Lalu Ara menuju meja nomor sepuluh, tempat ia duduk.
"Silakan, "
"Seperti biasa," jawabnya. Senyum mengembang dari wajahnya. "Aduh, manis sekali senyumnya," batin Ara.
"Maaf, boleh menanyakan sesuatu?" tanya Ara.