Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meinar dan Dudi

17 Januari 2015   19:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14214903582016070648

Sumber gambar: Disini

Seharian ini Meinar uring-uringan. Dengan perut gendut berisi calon bayi, tentu saja sangat berpengaruh pada kejiwaannya dan calon bayi yang dikandungnya. Meinar tahu, itu membuat efek buruk dan sebenarnya ia tidak ingin marah. Tapi emosi itu kadung membelenggunya. Dudi suaminya, lebih memperhatikan ibunya daripada dia dan sang calon bayi buah cinta mereka. Padahal sejak awal Meinar tahu, ia mengenal Dudi sangat menyayangi ibunya, hingga semua tentang ibu dan segala yang menyangkut ibu, Dudi selalu bergerak cepat. Nah, mengapa sekarang uring-uringan?

Adalah sang ibu mertua, yang demikian perfeksionis dalam segala hal, membuat Meinar selalu menciut dihadapan sang ibu. Ibunda Dudi, selain cerdas, pandai memasak, juga memperhatikan segala hal tentang urusan rumah tangga. Padahal ibu Dudi juga seorang pekerja yang boleh dikatakan tidak pernah berhenti beraktifitas. Meinar selalu merasa kecil di hadapannya.

***

“Mas, apa sebaiknya kita tidak pindah saja?” kata Meinar di suatu malam menjelang tidur. Ia sangat hati-hati mengungkapkan usulannya pada sang suami karena takut menyinggung perasaannya.

“Kenapa sayang? Bukankah kita di sini nyaman, ada ibu, yang membantu kita baru belajar berumah tangga kan?” kata Dudi. Memang benar, Meinar dan Dudi adalah sepasang pengantin baru, karena baru beberapa bulan yang lalu mereka menikah. Bersyukur, karena Meinar segera hamil dan sekarang memasuki bulan ketiga. Hamil muda, harus berhati-hati dalam menjaga kandungannya, karena baru memasuki tri semester pertama.

“Iya mas, benar, tapi seandainya kita pindah dan memiliki rumah sendiri meskipun itu ngontrak, tapi kan kita belajar mandiri. Kita akan belajar sambil berjalan, karena toh kita nggak bisa terus-terusan merepotkan ibu. “ kata Meinar sambil memberikan argumen-argumen masuk akal agar usulannya di terima oleh Dudi. Sementara itu Dudi menguap lebar, mengantuk, lalu mengatakan, sudahlah kita tidur saja dulu, besok kita pikirkan.

Usulan Meinar menguap begitu saja tanpa ada respon dari Dudi. Hingga berkali-kali entah berapa kali di hari yang lain, setiap Meinar mengusulkan hal yang sama, Dudi selalu membuat alasan, agar pembicaraan tentang memiliki rumah sendiri terlupakan. Yah, sudahlah, Meinar akhirnya menyerah. Ia tidak mau memperpanjang urusan hanya karena ia merasa kalah perhatian dengan sang ibu mertua.

***

Selalu begitu dan ini terjadi lagi, secara tak sengaja, ibu Dudi memukul Meinar telak, dengan kepiawaiannya memasak. Dudi lebih memilih mencicip masakan ibunya daripada masakannya. Masakan yang ia buat tak tersentuh sama sekali oleh Dudi, padahal Meinar membuatnya dengan sepenuh hati, dengan harapan masakannya akan dipuji oleh suaminya. Meinar dalam kondisi hamil, sering merasa mudah tersinggung hatinya. Tersulut emosinya, Meinar ngambeg dan tidak mau keluar kamar seharian.

Dudi kebingungan, antara memilih ibu dan Meinar. Bukannya ia tak mengetahui bahwa Meinar istrinya mencemburui ibunya. Tapi ia amat menghormati ibunya. Ia amat mencintai ibunya. Sebenarnya ia juga mencintai istrinya, tapi tentu saja kapasitasnya berbeda. Menurut Dudi, baginya, ibu adalah segala-galanya di dunia ini. Dari kecil ia dididik oleh ibunya dengankasih sayang tak pernah berkurang. Selalu penuh dan utuh. Sebagai anak tunggal, tentu saja kasih sayang ibunya selalu tertumpah ruah untuknya seorang. Meskipun ayahnya juga tak kurang dalam memberikan kasih sayangnya.

Setelah Dudi menikah, ia tak mau ibunya kecewa, karena ia lebih cenderung ke istrinya. Apalagi sebagai pengantin baru, ia ingin berguru pada ibunya tentang apa saja yang menyangkut urusan rumah tangga. Ia ingin Meinar juga belajar dari ibunya untuk bisa tahu dan bisa seperti ibunya. Tetapi kenyataan dan keinginan, kadang-kadang berseberangan. Apa yang diinginkan Dudi tak sesuai dengan kenyataan.

***

Satu Tahun Kemudian..

“Hallo, Meinar, nanti ibu sebentar lagi ke sana ya. Jangan lupa, ibu minta kamu memasak masakan kesukaan ibu dengan resep rahasia ala ibu ya, “suara di seberang terdengar renyah. “Bagaimana si kecil? Sudah bisa apa? Eyang sangat kangen loh padanya.” Lanjut sang Eyang. Padahal juga baru beberapa hari sang Eyang bertemu dengan cucunya.

“Iya ibu, Alfin sudah bisa tengkurap, beratnya sudah naik, kemarin waktu ditimbang naik enam ons dari berat seminggu lalu. Sepertinya Alfin pasti senang deh kalau nanti ketemu eyang.”

Meinar tersenyum, akhirnya persoalan yang membelenggunya selama ini menyeruak pergi. Beberapa bulan setelah ia melahirkan, ibu Dudi akhirnya merelakan Meinar dan Dudi untuk pindah rumah. Meski sebenarnya tak jauh dari rumah ibu Dudi. Kebetulan ada rumah kosong yang bisa dikontrak, jaraknya hanya beberapa blok dari rumah ibu Dudi. Meinar bisa bernafas lega. Dengan kesabarannya, ia mampu menaklukkan hati ibu mertua. Ia banyak belajar, dari mulai memasak resep ala ibu mertua, hingga cara mengelola rumah tangga, semua ia pelajari dari ibu mertuanya. Ibunya juga tak segan memberikan ilmunya pada menantu satu-satunya. Semua apa yang ia tahu, ia tularkan pada menantunya. Bersyukur karena Meinar ini termasuk cerdas, hingga cepat menyerap ilmu yang ia berikan. Dengan begitu ia tak lagi khawatir melepaskan Dudi pada Meinar, karena pasti Dudi anak semata wayangnya itu terurus baik oleh Meinar. Juga cucunya. Ia percaya Meinar mampu mengatasi semua masalah rumah tangga.

***

Hari masih agak pagi dan matahari barusan menampakkan diri, saat ada tetes-tetes lembut hujan seperti tunas muda jatuh pelan dan ringan. Di halaman belakang rumah mereka, Meinar dan Dudi tetap berbaring, bahkan menikmati setiap tetesnya. Tak terasa wajah mereka menjadi basah dan baju merasa lembab. Hujan telah banyak. Akhirnya mereka bangkit dan bergerak masuk teras belakang rumah. Sempat terlihat daun-daun rumput berkilauan terkena hujan rintik-rintik dan terbias sinar matahari. Tiba-tiba angin sepoi berhembus dari aliran angin belakang pagar rumah yang hanya terbuat dari kayu dan berongga-rongga. Memang sengaja dibuat demikian, kebetulan belakang rumah adalah lahan kosong, belum berpenghuni. Jadi mereka bebas melakukan apa saja tanpa terlihat oleh orang lain. Tiba-tiba terdengar suara Alfin menangis dari dalam rumah, mereka beranjak lari, dan beriringan masuk. Begitu indah yang mereka jalani. Leganya mereka.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun