[caption caption="Gadis Berponi, (sumber gambar: wallcoo.com)"][/caption]
Sore hari yang sedikit mendung, adem suasana. Saatnya minum teh, ditemani kudapan ringan bikinan Bunda, sambil asyik menikmati keindahan ikan di kolam, yang berada di ruang santai. Ayah duduk di pinggir kolam, mengajak ngobrol sang ikan. Ikan tak menjawab, hanya berputar-putar dari ujung ke ujung.
"Yah, nampaknya si Poni sudah jarang pulang,"Â
Ayah menengok ke arah Bunda.
"Iya Bun, mudah-mudahan ia mulai kerasan. Bagaimana jadinya jika tiap hari pulang, padahal kan ia indekos. Kuliahnya juga jadi nggak konsen, karena mikirin pulang. Betewe, bun. Kok Bunda masih panggil dia si Poni sih? Kan sekarang sudah enggak poni lagi. Sudah dewasa dia,"
"Tapi kan Yah, dia itu tetap my little girl. Eh, kalau dia sudah dewasa, berarti Ayah apa dong?"
"Ciiie... mau bilang ayah sudah tua aja pakai nanya," Bunda tergelak mendengar kata Ayah.
Suatu teriakan terdengar dari luar rumah. "Assalamu'alaikum, Bundaaaa.... aku pulang!"
Ayah dan Bunda saling bertatapan, "Tuh kan, baru diomongin, anaknya nongol. Makanya Yah, nggak usah diomongin deh, biar tenang hatinya." Ayah tergelak. Si Poni alias kakak sudah kuliah semester dua. Sengaja kos meski kuliah di kota yang sama. Lumayan jauh untuk sampai kampus tempat ia kuliah, apalagi jika harus kuliah pagi atau kuliah sampai malam. Praktikum sering sampai menjelang malam. Mana sering macet di jalan. Lalu lintas padat bikin bete.
"Wa'alaikumsalam.... Aduh, anak gadisnya bunda pulang, baru kemarin pulang, sudah pulang lagi."
"Yeee... Emang Bunda nggak suka ya anaknya pulang? Bawaan kakak ada yang ketinggalan, Bun," serigai kakak memperlihatkan barisan giginya yang rapi, memberi alasan. Ia tahu, bahwa hatinya yang selalu tertinggal di rumah. Ayah dan Bunda yang menyayanginya, juga adik satu-satunya, memiliki kekuatan ikatan yang bikin ia selalu kangen pulang ke rumah. Ia juga tahu, ia harus mandiri dan tak boleh sering pulang. Ia sudah berusaha, tapi begitulah.Â