Wahyu Sapta, No. 103
Inilah puisiku
Seorang perempuan yang berdiri di bawah pohon rindang tepi jalan
Dengan segala pernik-pernik tentang kehidupan
Koran bekas, kardus bekas, kertas bekas, plastik bekas, botol bekas, adalah keseharianku
Lalu kardus lebar jadi tempat tinggal, bahkan kadang sering berganti, karna terkena hujan semalaman, basah, kardus tak lagi mampu jadi naungan
Aku memandang jalanan tak pernah sepi, bahkan ketika malam
Aku memandang lalu lalang mereka, mereka sibuk bagai robot
Aku memandang gambaran ekonomi, kadang laju kadang surut
Semua tampak bagai putaran film misbar kampung lalu
Aku bergerilya mencari segala sisa-sisa yang terbuang
Aku berjalan menempuh matahari
Aku mendengar bising mobil, laju motor serta klakson
Aku membelah angkasa raya, langit luas, alam raya hingga tak berbatas
Aku tak takut segala cuaca tercipta, panas, hujan, badai, aku lalui, aku lintasi dengan gagah berani
**
Anganpun melayang, saat lalu di hari lalu
Maka sementara langit sibuk berdandan untuk pesta malamnya,
Ada janji dan bisikan lembut, mengintip di sela-sela hatiku,
"Kita bertemu malam ini, jangan kau lupakan itu"
"Kamu cantik, bagai artis yang manggung di kampung kita kemarin lusa"
Aku melayang bagai tak menapak tanah, terperdaya lagunya
Pergulatan telah terjadi, ia tersenyum menyerigai penuh kemenangan
Sedikit tetes air mata turun lembut membasahi pipiku
Ah, ya, dalam resahku, ketika jatuh senjakala, terbit pagi membuyarkan mimpi,
Dengan mudah ia bisa putar haluan, menikam hati, menghancurkannya berkeping-keping, raib entah kemana
Ia menghilang! Ia tak kembali bagai ditelan bumi
Sementara bunga cinta kian membesar, menjelma bagai bidadari dari khayangan, Syafira, batu cantik yang berkilau
Ia tak mengenal apa arti bapak, tumbuh jadi anak pintar, dalam bayang-bayang pohon, tubuhnya bercahaya, cemerlang, pandai mengeja aksara
Hingga nyala dendam menyurut, mengerti arti tegar, menutup gelap menjadi cahaya
Di alam cakrawala, di dalam hujan, kulihat diriku yang dulu hilang, menjelma menjadi ibu yang lupa sandaran nestapa
**
Lari! Lari!
Kemana lagi lari? Inilah akhir ceritaku, di bawah pohon rindang tepi jalan
Jejak langkah kaki mungil Syafira menapak pelan, mengikuti langkah kaki sang Ibu dan itu aku,
Rambut berponi bergerak mengikuti langkah mungilnya, fasih menghitung jenis kertas, meski usia baru hitungan lima
Malam, wajah polos itu tersirat masa depan putih,
“Nak, kelak kau menjadi guru”
hingga tak meniru langkah keliru sang ibu
Pagi, lihatlah, pagi telah datang kembali, wahai bumi yang indah, peluklah aku dalam pelukan hangatmu
Nanti sekali waktu, aku akan menuju langit yang indah, setinggi awan selembut kapas
Dalam cahaya Syafira bersinar cemerlang, menjujung tinggi sang ibu.
Itu Aku. Perempuan Bawah Pohon.
**
Semarang. Indonesia 28/2/15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H