Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(DEAR PPA) Puisi Perempuan Bawah Pohon

28 Februari 2015   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:21 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425115090863181471

Wahyu Sapta, No. 103

Inilah puisiku

Seorang perempuan yang berdiri di bawah pohon rindang tepi jalan

Dengan segala pernik-pernik tentang kehidupan

Koran bekas, kardus bekas, kertas bekas, plastik bekas, botol bekas, adalah keseharianku

Lalu kardus lebar jadi tempat tinggal, bahkan kadang sering berganti, karna terkena hujan semalaman, basah, kardus tak lagi mampu jadi naungan

Aku memandang jalanan tak pernah sepi, bahkan ketika malam

Aku memandang lalu lalang mereka, mereka sibuk bagai robot

Aku memandang gambaran ekonomi, kadang laju kadang surut

Semua tampak bagai putaran film misbar kampung lalu

Aku bergerilya mencari segala sisa-sisa yang terbuang

Aku berjalan menempuh matahari

Aku mendengar bising mobil, laju motor serta klakson

Aku membelah angkasa raya, langit luas, alam raya hingga tak berbatas

Aku tak takut segala cuaca tercipta, panas, hujan, badai, aku lalui, aku lintasi dengan gagah berani

**

Anganpun melayang, saat lalu di hari lalu

Maka sementara langit sibuk berdandan untuk pesta malamnya,

Ada janji dan bisikan lembut, mengintip di sela-sela hatiku,

"Kita bertemu malam ini, jangan kau lupakan itu"

"Kamu cantik, bagai artis yang manggung di kampung kita kemarin lusa"

Aku melayang bagai tak menapak tanah, terperdaya lagunya

Pergulatan telah terjadi, ia tersenyum menyerigai penuh kemenangan

Sedikit tetes air mata turun lembut membasahi pipiku

Ah, ya, dalam resahku, ketika jatuh senjakala, terbit pagi membuyarkan mimpi,

Dengan mudah ia bisa putar haluan, menikam hati, menghancurkannya berkeping-keping, raib entah kemana

Ia menghilang! Ia tak kembali bagai ditelan bumi

Sementara bunga cinta kian membesar, menjelma bagai bidadari dari khayangan, Syafira, batu cantik yang berkilau

Ia tak mengenal apa arti bapak, tumbuh jadi anak pintar, dalam bayang-bayang pohon, tubuhnya bercahaya, cemerlang, pandai mengeja aksara

Hingga nyala dendam menyurut, mengerti arti tegar, menutup gelap menjadi cahaya

Di alam cakrawala, di dalam hujan, kulihat diriku yang dulu hilang, menjelma menjadi ibu yang lupa sandaran nestapa

**

Lari! Lari!

Kemana lagi lari? Inilah akhir ceritaku, di bawah pohon rindang tepi jalan

Jejak langkah kaki mungil Syafira menapak pelan, mengikuti langkah kaki sang Ibu dan itu aku,

Rambut berponi bergerak mengikuti langkah mungilnya, fasih menghitung jenis kertas, meski usia baru hitungan lima

Malam, wajah polos itu tersirat masa depan putih,

“Nak, kelak kau menjadi guru”

hingga tak meniru langkah keliru sang ibu

Pagi, lihatlah, pagi telah datang kembali, wahai bumi yang indah, peluklah aku dalam pelukan hangatmu

Nanti sekali waktu, aku akan menuju langit yang indah, setinggi awan selembut kapas

Dalam cahaya Syafira bersinar cemerlang, menjujung tinggi sang ibu.

Itu Aku. Perempuan Bawah Pohon.

**

Semarang. Indonesia 28/2/15

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun