Baca sebelumnya:
Kehidupan memang harus terus berjalan. Selalu saja ada masalah yang datang dan pergi. Jika tak begitu, bagaimana aku bisa merasakan tarikan nafas secara bebas?Â
"Inilah hidup. Semerdekamu," kataku pada diriku sendiri.Â
Intan adikku kuliah di Farmasi, membutuhkan biaya yang tak sedikit. Aku ingin ia bisa mencapai cita-citanya hingga setinggi yang ia mau. Sebagai orangtua pengganti buatnya, menjadikan aku semakin menggila dalam bekerja.Â
Segala urusanku dan Intan, terasa membayang tak pernah berjeda. Aku adalah penari profesional yang memiliki studio tari. Bagiku sangat mudah mengeluarkan segala ide. Bersyukur karena passion tari yang kumiliki membuatku memiliki banyak ide gerakan tari.
Seperti tak berbatas, ide-ide selalu muncul, hingga membuatku menggila. Dari sanalah aku memperoleh masukan keuangan, selain warisan dari kedua orangtuaku yang telah meninggalkan kami berdua.Â
Beberapa barang peninggalan mereka, memang sempat terjual untuk menambah uang saku ketika aku kuliah jurusan tari di luar negeri beberapa tahun yang lalu. Tetapi aku menjaga betul pengeluarannya. Siapa tahu, suatu saat membutuhkan biaya yang banyak untuk kemudian hari buatku dan Intan.
"Kakak terlalu memaksa diri, deh. Ntar cepet tua, loh. Sesekali kakak butuh healing," kata Intan suatu hari.Â
"Lalu, siapa yang membiayaimu kuliah?" jawabku.
"Ih, kakak. Cukup kali, kak. Toh, aku bukan seorang gadis yang boros. Kakak tuh yang butuh diperhatikan. Ayok, besok kita ke pantai," pinta Intan memaksa.
"Tapi, besok kakak ada janji mau melatih anak-anak."
"Bisa dipending kali, kak. Ayolah, kakak butuh suasana lain. Siapa tahu nanti saat di pantai kakak bisa dapat ide, nih," rayunya.
Jika sudah begitu, siapa yang bisa menolak ajakan Intan? Rayuan tentang mendapatkan ide untuk sebuah tarian membuatku luluh.
"Baiklah," jawabku.
Intan melompat girang. Aku memandangnya penuh kasih sayang. Intan adalah adikku satu-satunya. Tak bisa kubayangkan jika aku harus kehilangannya.Â
***
Suasana pantai sungguh membuatku sedikit segar. Irama alunan ombak membuatku rileks. Benar kata Intan, bahwa aku memperoleh ide menari ketika mendengarnya. Menjiwai setiap ketukannya, membuatku seperti melamun.
Tiba-tiba pikiranku pecah. Sungguh, ini tentang seseorang. Aku pernah datang ke sini dengannya.Â
"Kira-kira bagaimana kabarnya, ya?" batinku.Â
Aku melihat Intan menikmati deburan ombak dengan riang dari kejauhan. Ia sangat menikmati.
"Kak, sini," katanya. Tapi suaranya hilang terbawa angin. Aku hanya bisa membaca gerakan bibirnya.
"Iya, nanti, kakak masih malas," jawabku. Intan hanya mengangkat bahu, lalu menikmati kembali deburan ombak yang memecah mengenai kakinya.Â
Rambutnya yang sebahu tertiup angin membuatnya terburai tak berarturan. Lalu ia mengambil rambutnya dipilin ke atas kepala membentuk cempolan. Kulit wajahnya yang terang sedikit memerah tertimpa sinar matahari yang menyengat. Tetapi itu tak mengurangi kebahagiaannya.
Sungguh aku merasa bersalah telah membiarkan Intan jarang menikmati suasana seperti ini. Intan anak yang penurut. Selain pintar juga memiliki bakat sepertiku. Beberapa kali ia performa dalam tarian ciptaanku sebagai penari utama. Aku sangat bangga padanya.
"Kakaaak... jangan lupa bahagia!" serunya dari kejauhan yang kudengar samar. Aku hanya melambaikan tangan padanya. Masih saja aku memandang Intan dari kejauhan di tepi pantai.
"Sandy," bisikku pada diri sendiri. "Bagaimana kabarmu?"Â
Sebuah rasa menyergapku. Perasaan sedih muncul tiba-tiba. Aku teringat Sandy. Ia telah banyak berjasa di kehidupanku. Tetapi aku telah menyiakannya.Â
"Jahat, kamu Icha," batinku mengutuk diri sendiri. "Kamu tak akan seperti sekarang ini, jika bukan karena dia." Aku membuang nafas pelan.Â
"Ah, aku sangat ingin bertemu denganmu." Aku berkata amat pelan. Tak akan ada yang mendengarnya di suasana pantai yang memiliki deru angin membawa suara keras dari laut kecuali aku.
Sekarang memang aku berada di puncak prestasi sebagai penari. Banyak tawaran dan sponsor yang mendukung memintaku untuk menciptakan tarian yang akan digelar dalam sebuah panggung megah.
Tetapi awal terjun di dunia tari karena Sandy. Pelatihku yang baik hati dan membebaskan aku menggali segala kemampuanku, hingga melebihi dia.Â
Sedangkan Sandy memilih menjadi pengusaha peternakan, setelah ia tidak aktif terjun di dunia tari. Padahal ia dulu memiliki studio tari yang megah, memiliki banyak murid. Aku adalah salah satu penari terbaiknya.
Ketika aku kuliah ke luar negeri karena beasiswa, ia berada di puncak prestasinya sebagai koreografer. Sebagai penari utama andalan studio miliknya, ia sangat kehilangan diriku.
"Jiwamu memang untuk menari, Cha," katanya pada saat itu.
Ia memilih mengundurkan diri sebagai koreografer dan lebih memilih bisnis ternak. Seperti patah hati.Â
Tetapi apapun yang terjadi, aku harus tetap memilih cita-citaku yang sejak lama kuimpikan dengan menerima beasiswa tersebut. Kesempatan tidak akan datang kedua kalinya.
Apa yang terjadi? Akulah yang sebenarnya patah hati. Aku kehilangan Sandy, yang telah berkali-kali mencoba melamarku agar menikah setelah aku kembali.Â
Keadaan yang membuatku sedikit egois. Antara tanggung jawab kepada adikku dan karier, tetapi juga harus memilih jalan hidup ke depan. Menikah dengan Sandy.
Sandy memilih pergi, ketika aku belum siap. Aku tak bisa mencegahnya. Apalah aku, jika dibandingkan dengan kebaikan Sandy. Sedih, tetapi kehidupan harus tetap berjalan.Â
Rasa bertahan selalu menggedor-gedor agar aku berpaling kembali pada Sandy. Selama ini aku mampu. Apakah aku bisa bertahan? Karena sejatinya, cinta tak bisa dilawan. Semakin melawan, semakin kuat ia menggenggam dan tak mau pergi.
Ada ruang kosong yang butuh diisi, yang tak pernah utuh penuh oleh diriku sendiri ataupun Intan adikku. Harus ada seseorang yang mengisinya. Aku tak akan mampu. Sebuah rasa ini tak pernah selesai, beserta kenangan-kenangan yang mengiringinya.
Berapa lama aku akan membiarkan diriku sendiri merdeka tanpanya?Â
"Aku kangen kamu, Sandy. Pikiranku selalu mengarah kepadamu. Rasa ini tak pernah selesai. Ruang kosong itu aku sediakan untukmu," kataku berbisik pada laut.
"Icha? Kok kamu di sini? Sama siapa?" Sungguh, suara itu aku kenal. Aku menengok ke arahnya.
"Kamu?"
Semarang, 19 September 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H