"Kira-kira bagaimana kabarnya, ya?" batinku.Â
Aku melihat Intan menikmati deburan ombak dengan riang dari kejauhan. Ia sangat menikmati.
"Kak, sini," katanya. Tapi suaranya hilang terbawa angin. Aku hanya bisa membaca gerakan bibirnya.
"Iya, nanti, kakak masih malas," jawabku. Intan hanya mengangkat bahu, lalu menikmati kembali deburan ombak yang memecah mengenai kakinya.Â
Rambutnya yang sebahu tertiup angin membuatnya terburai tak berarturan. Lalu ia mengambil rambutnya dipilin ke atas kepala membentuk cempolan. Kulit wajahnya yang terang sedikit memerah tertimpa sinar matahari yang menyengat. Tetapi itu tak mengurangi kebahagiaannya.
Sungguh aku merasa bersalah telah membiarkan Intan jarang menikmati suasana seperti ini. Intan anak yang penurut. Selain pintar juga memiliki bakat sepertiku. Beberapa kali ia performa dalam tarian ciptaanku sebagai penari utama. Aku sangat bangga padanya.
"Kakaaak... jangan lupa bahagia!" serunya dari kejauhan yang kudengar samar. Aku hanya melambaikan tangan padanya. Masih saja aku memandang Intan dari kejauhan di tepi pantai.
"Sandy," bisikku pada diri sendiri. "Bagaimana kabarmu?"Â
Sebuah rasa menyergapku. Perasaan sedih muncul tiba-tiba. Aku teringat Sandy. Ia telah banyak berjasa di kehidupanku. Tetapi aku telah menyiakannya.Â
"Jahat, kamu Icha," batinku mengutuk diri sendiri. "Kamu tak akan seperti sekarang ini, jika bukan karena dia." Aku membuang nafas pelan.Â
"Ah, aku sangat ingin bertemu denganmu." Aku berkata amat pelan. Tak akan ada yang mendengarnya di suasana pantai yang memiliki deru angin membawa suara keras dari laut kecuali aku.