Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kepadamu, Kangen Itu Tak Pernah Usai

25 November 2021   20:35 Diperbarui: 25 November 2021   20:43 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar mentari memang tidak begitu menyengat, tetapi menyebar ke segala penjuru. Mendung tipis masih saja menyeruak, meski hanya serupa kabut putih dan mungkin tidak akan terjadi hujan dalam waktu dekat.

Mendung tanpo udan, seperti kata lagu Kudamai. Ada rasa kehilangan yang amat perih. Entah mengapa, bahkan ketika telepati tak bisa membantuku menembusmu. Ini tak seperti biasa, ketika aku kangen, secepat kilat kamu datang.

Memang memiliki kekasih sepertimu, harus siap pada segala kemungkinan. Arah angin akan dengan mudah membolak-balikkan situasi hatimu.

"Dasar seniman!" Godaku padamu.

"Salah sendiri kamu menyukaiku. Aku tak pernah memintanya, bukan?"

"Baik, kita putus, ya?" Jawabku pura-pura marah.

Kata-kata putus tak akan pernah terjadi. Ketika pagi aku marah, lalu sore hari datang sebuah bingkisan coklat, dengan tulisan yang penuh rayuan. Mana bisa tahan? 

"Maafkan aku, belum bisa memberimu bahagia yang berlebih," katamu suatu hari.

"Aku tak meminta berlebih, hanya hatimu. Itu saja," jawabku. 

Tergelak kamu mendengarkannya. 

"Dasar anak manja," katamu sambil mengucel rambutku.

***

Ya, ya, memang kuas dan kanvas akan lebih berharga ketika kamu mulai konsentrasi pada sebuah media tempat melepaskan luapan emosi imajinasi. Dari awal aku memahaminya dan tak ingin mengganggu.

Tetapi egoisnya cinta akan memintanya berlebih. Memiliki kekasih baik hati, yang akan datang ketika kangen menyertainya. Keberadaanmu, sungguh membuatku berwujud sempurna. 

"Kamu jangan pergi, tinggallah barang sebentar. Aku masih kangen."

Lalu kamu akan bersikap canggung, kebingungan, dan sedikit aneh. Sesekali menggulung rambut panjangmu menjadi cempolan di atas kepala, lalu melepasnya kembali. Melihatmu seperti kebingungan, aku menjadi tak tega.

"Baiklah, kamu boleh pulang. Aku akan menunggumu esok hari."

Perasaan lega, tiba-tiba memburumu. 

"Terimakasih atas pengertianmu,"

***

Di rembang petang, tereja nama, pada kangen yang tak pernah usai. Padamu, yang mengisi hati, hari berserta lompatan-lompatan rasa, apapun. Kamu tahu, bahwa kangenku tak pernah luruh, oleh wujud dan waktu. 

"Mengapa menghilang?"

"Aku tidak menghilang, hanya butuh jeda, untuk sendiri, agar bisa merasakan bagaimana rasa kangen itu,"

"Kamu ngeles, ya?" tanyaku.

Apakah kamu tak mengerti, bahwa untuk kangen padamu membutuhkan setumpuk lompatan rasa yang berganti-ganti. Mengesalkan! Degup jantungku akan berirama rock. Fluktuasinya sangat kencang. Hampir menggemparkan seisi tubuhku. 

"Aku tak suka jika kamu seperti itu." kataku kesal.

"Maksudmu?"

"Menghilangmu, sungguh menyiksaku."

"Mudah saja untuk tak membuatmu kesal," jawabmu memberi pilihan lewat pesan daring.

"Gimana caranya?"

"Lupakan saja aku. Itu saja."

Seketika wajahku pias. Perih terasa di ulu hati. Apakah kamu memang memiliki hobi menyakiti hati, tanpa menyaring terlebih dahulu kata-kata itu?

"Tak semudah membalikkan kata. Kamu tahu itu bukan? Bahkan aku yakin, kamu juga seperti aku, merasakan kangen. Mengaku sajalah."

Lalu berminggu-minggu kamu memaksaku melupakan semuanya. Sungguh jahat. Aku tak pernah bisa menyalahkanmu. Yang sebenarnya terjadi, karena aku begitu canggung dan tak bisa melupakan. Kangen itu tak pernah usai.

"Kangen menjadi masalah bagiku. Apakah kamu tahu dan ada cara untuk mengatasinya?" tanyaku.

Bahkan kamu tak menjawabnya.

"Mengapa kamu tega?"

Hanya angin lalu yang menderu. Lintasan huruf-huruf hanya sebagai angan belaka. Tak pernah ada arah balik.

"Sungguh, ini menyiksaku. Bicaralah barang sedikit," pintaku.

Hening.

***

Sebuah pesan datang, dikala mendung tipis menyeruak. Tampaknya hujan tak akan segera turun. Tetapi mengapa aku merasa seperti de javu? Bertemu dan kehilangan?

Lukisan itu hampir jadi. Ia akan menemui pemiliknya. Guratan oranye dengan semburat abu. Ada sebuah ruh yang menyertainya. Bagai sebongkah rasa yang membatu, yang tak akan memecah hingga kapanpun. Aku berharap, kamu mengerti. Kangen adalah satu-satunya cara agar cinta ini tetap ada.


Semarang, 25 November 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun