Seorang pembeli sebelum saya, selesai dilayani. Sekarang giliran saya dibuatkan leker. Sedikit adonan tepung cair dituangkan di atas wajan yang sudah dioleskan mentega. Berbentuk lingkaran, kemudian tengahnya diberi beberapa iris buah pisang, lalu ditabur gula pasir yang telah bercampur coklat bubuk.
Hanya sebentar leker telah matang. Leker dilipat menjadi setengah lingkaran, tanda leker telah siap disantap. Kertas coklat yang telah dipotong seukuran 15x15 cm, menjadi wadah leker matang.Â
Kembali leker dibuat, sesuai jumlah pesanan saya. Jangan dibayangkan bahwa leker itu berukuran besar. Wajan kecil itu hanya bisa membuat leker seukuran diameter 10 cm. Paling hanya dua lahap hap, leker berpindah ke perut. Jadi, memesan 20 buah leker tidaklah banyak.
"Sudah lama berjualan leker pak?"
"Sudah, sejak tahun 1997, jadi sudah 23 tahun saya berjualan leker. Dulu saya kerja di konveksi. Karena masa krismon, saya beralih profesi menjual leker. Ya pokoknya dijalani saja kerjaan ini. Yang penting lancar rezeki dan bisa menambah penghasilan."
"Loh pak, jualan begini kan juga mencari rezeki. Kalau ramai, lumayan kan?"
"Agak seret pas masa pandemi sekarang," katanya.Â
"Semua mengalami pak. Saya aja juga terdampak," kata saya menghiburnya.
Ya, memang pandemi ini berdampak pada segala bidang. Termasuk ekonomi. Masyarakat dibuat jumping karena lesunya perekonomian. Tidak ada yang tidak terdampak, termasuk saya.
"Iya," jawab penjual sambil tangannya tetap bekerja meracik sajian leker. Adonan tepung kembali tertuang dalam wajan kecil.Â
Bahan bakar arang untuk memasaknya, membuat harum yang khas. Asap dari arang mengepul pelan. Tak sampai arang menjadi merah membara. Hanya bara kecil untuk memasak leker, karena leker cepat matang, tidak butuh waktu lama.Â