Di luar sana, hujan melesap memberi tanda pada kubangan depan rumah yang baru saja terbentuk,
derasnya gemericik, bagai irama jazzy kesukaanmu.
Aku menatap langit dari jendela kamar yang gelap, cahaya bersembunyi di balik awan hitam yang mengelabu, serupa kabut yang tak mampu menembus gambar arah depan. Samar.
Aku sedang menunggumu pulang, seakan menghitung tetesan air yang mendetik, pelan, tik, tik, tik,
lama sekali.
"Apakah kamu tahu, aku menantikan kedatanganmu sembari mengantuk?" desisku nan pelan tertelan deru laju hujan.
Sedang hujan tak mau juga mereda sedikitpun, "Apakah kamu tahu, aku memikirkanmu tak berjeda?" desisku kembali.
Senyap.
Satu menit. Dua menit.
Aku harus menelponmu dan berkata: "Pulanglah! Sebentar lagi kopi untukmu menjadi dingin dan aku segera akan tertidur."
Semarang, 3 Januari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H