Suatu hari tangismu pecah. Apa yang terjadi? Yang kutahu selama ini, kau baik-baik saja. Mengapa menangis? Apakah ada yang menyakiti hatimu? Oh, pasti cowok itu, siapa namanya? Brima? Cowok berambut ikal yang konon mencintaimu? Bagaimana bisa ia menyakiti hatimu? Sedangkan hatimu itu mengkilap bak pualam? Aku tidak terima.
Aku yakin, pasti Brima ceroboh dan merugi, jika ia tahu, betapa baiknya dirimu. Ia pasti akan menyesal seumur hidup telah membuatmu menangis. Eh, tapi, kupikir Brima itu anak yang baik. Pasti bukan karena Brima, deh. Lalu mengapa kamu menangis?
Aduh, aku jadi ikut bingung. Kamu ini tak mau bercerita padaku, padahal aku temanmu, kan? Aku rela kok jika kamu bercerita dan semua keluh kesahmu aku tampung. Mengapa ragu sih?
Kamu sedang berkaca. Mematut diri. Membetulkan krah baju agar lebih rapi. Meskipun kamu hampir jarang bersolek, tetapi sungguh, kamu cantik alami. Aku menyukaimu. Meski kata ibuku tidak boleh.
Dengan kaos t-shirt oranye kesukaanmu, kamu terlihat cantik. Seperti mengagumi diri sendiri, sambil membetulkan make up bedak tipis-tipis, lalu memakai lipstik warna mate. Aku suka sederhanamu.
Sempat kamu menyibakkan rambut sebahu, hingga mengenai mukaku. Kamu tersenyum tipis, seolah mengatakan, "Rasain, kamu. Suka usil deket-deket aku."
Yah, aku kan cuma ingin berteman. Tak lebih.
***
Suatu hari kamu pergi. Aku mengikutimu dari belakang, tanpa kau tahu. Aku juga berpura-pura tak mengenalmu. Lalu, mengapa bisa begitu? Aku hanya ingin jadi pengamatmu saja dari jauh.Â
Tentu saja kau tak tahu, karena aku tak memberitahukanmu. Biasanya aku akan bilang, kalau aku ingin ikut denganmu. Lalu kamu bilang, "Baiklah, kamu boleh ikut. Tapi jangan nakal, ya." Aku menggangguk senang.Â
Bingung ya, mengapa begitu? Baik, akan aku jelaskan. Aku memang tak seperti orang kebanyakan. Aku tak tampak. Hanya Sasti yang tahu. Tapi kali ini ia tak melihatku. Aku memakai ilmu yang diajarkan ibu. Ilmu Menghilangkan Diri.