Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengulang Suasana Masa Lalu, Membuat Lebih Rileks

19 Oktober 2020   16:30 Diperbarui: 19 Oktober 2020   16:36 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendung sejak pagi menggelayut manja di langit. Suasana sendu suram abu-abu. Saya selalu teringat suasana masa lalu. Apalagi didukung sepi, karena bukan jam sibuk di jalan. (Foto: Wahyu Sapta).

Kota Pati adalah tempat di mana saya dilahirkan. Masa kecil hingga sekolah menengah atas, tinggal di sini. Kemudian melanjutkan studi dan berumah tangga berpindah ke Semarang. Kadangkala ketika saya sedang berkunjung untuk menengok pusara orangtua dan orangtua mertua di Pati, putaran ingatan seperti kembali, lalu terpental jauh ke tahun yang telah berlalu.

Hari itu siang tak begitu terik. Agaknya mendung sejak pagi menggelayut manja di langit. Suasana sendu suram abu-abu. Sebenarnya tidak begitu sendu. Hanya saja jika mendung, saya selalu teringat suasana masa lalu. Apalagi didukung sepi, karena bukan jam sibuk di jalan. 

Mendung sejak pagi menggelayut manja di langit. Suasana sendu suram abu-abu. Saya selalu teringat suasana masa lalu. Apalagi didukung sepi, karena bukan jam sibuk di jalan. (Foto: Wahyu Sapta).
Mendung sejak pagi menggelayut manja di langit. Suasana sendu suram abu-abu. Saya selalu teringat suasana masa lalu. Apalagi didukung sepi, karena bukan jam sibuk di jalan. (Foto: Wahyu Sapta).
Cahaya matahari susah payah menerobos awan kelabu. Meskipun tampak tak akan segera hujan, sinar pucat kelabu ala kadarnya bertahan di siang itu. Saya mendongakkan kepala dan bertanya dalam hati, apakah akan hujan yang awet untuk sore nanti?

Saya sedang mengantar orangtua (mertua) untuk mengantre dokter, kontrol rutin tiap bulan. Lokasi di sekitar pusat kota. Tak banyak yang antre. Hanya tiga pasien. Karena sudah langganan, pagi telepon terlebih dahulu, kemudian ditentukan jamnya. 

Dokter datang hanya sebentar untuk pasien, kemudian pergi meninggalkan tempat prakteknya setelah selesai. Dengan berpakaian sesuai prokes, memakai masker, juga tempat praktek yang dihalangi media plastik lebar sewaktu konsultasi. 

Suasana sepi saat pulang ke rumah. Hem. Sepi itulah yang membuat kenangan melesat pada suasana masa lalu. Tanpa bising kendaraan yang berlalu lalang. Nyatanya itu membuat saya sedikit rileks.

Saya mengerjapkan mata. Dahulu teringat, jauh sebelum masa sekarang. Pada saat sepi, alunan suara orang sedang mengaji dari masjid seberang masih bisa terdengar merdu. Samar-samar suara itu mendayu membuat hati tentram. Jika bising, mana bisa terdengar?

Sepi kota yang nyaris tak berubah pada siang hari, membuat saya selalu merindukan kota ini. Memang sih, tempat-tempat tertentu ramai dan berubah. Semakin banyak tempat kuliner yang bermunculan. Kreativitas bidang kuliner tidak melulu pada makanan klasik, tetapi juga kekinian. Jika malam hari, lampu-lampu dari tempat kuliner berpendar menarik hati. Ramai dan berisik.

Tetapi yang saya rasakan siang itu, dengan suasana mendung dan awan kelabu yang menggelayut di langit, sedikit membebaskan diri saya dari suasana sehari-hari. Lepas dan rileks. Saya seperti anak kecil di masa lalu di tempat yang sama. Tanpa beban hidup. Hanya riang yang dirasa.

Suasana sepi di tengah mendung abu-abu, mengingatkan saya akan masa kecil yang tanpa beban, hanya ada keriangan. (Foto: Wahyu Sapta).
Suasana sepi di tengah mendung abu-abu, mengingatkan saya akan masa kecil yang tanpa beban, hanya ada keriangan. (Foto: Wahyu Sapta).
Tiba-tiba hujan cukup deras! Ingatan saya kembali berputaran, pada masa kecil. Saya pernah sengaja menerobos hujan. Ketika sedang bermain ke rumah teman, hujan deras awet seperti tak mau berhenti. 

Karena hujan yang tak berhenti juga, saya nekat menerobos hujan untuk pulang. Saya lebih takut pada marahnya orangtua karena bermain yang terlalu lama, daripada terkena air hujan yang deras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun