Hari belum begitu gelap saat aku tiba. Langit memiliki warna abu-abu semburat petang. Bus yang kutumpangi hanya mau berhenti di sini. Tak mau meneruskan perjalanannya dan memilih kembali.Â
Awan mulai menggulung-gulung tak beraturan. Tak ada warna jingga. Hanya abu-abu dan sedikit hitam.Â
Aku sedikit menelan ludah, karena tenggorokan kering. Juga agak ragu, karena melihat sekeliling yang sunyi.
"Kota ini tak layak seperti kota lainnya. Terlalu syahdu dan dingin. Bagai kota mati," kataku dalam hati.
Angin sepoi datang menyapu rambut sebahuku. Menggelitik pipiku yang kemerahan karena dingin.
Aku hanya sendiri. Bersama ransel di punggung. Berisi beberapa potong baju dan bekal. Aku terbiasa membawa bekal, karena belum tentu di jalan bisa membelinya.
***
Hening. Sungguh aneh. Beberapa tempat yang kudapati hanya keheningan. Sesekali suara angin menderu memecah keheningan. Membawa debu, berputaran, lalu hening kembali.Â
Rumah-rumah bagai tak berpenghuni. Sebagian bangunan rumah memang rusak, tapi aku merasa masih bagus. Sepertinya, tak berselang lama penghuninya ada dan baru saja meninggalkan rumah mereka.
Tujuanku datang ke kota ini karena pesan dari seseorang, yang disampaikan lewat sms. Entah mengapa. Bagai mengandung sihir yang membuatku terperdaya dan hanyut di dalamnya. Pesan itu membawaku kemari.Â
Aku meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Semakin jauh memasuki kota. Dan hanya keheningan yang kudapat.Â