hari ini hujan, membawa rinai yang tak kunjung henti, kucatat urai waktumu dalam kenangan, sisi hati igauan anak-anak di masa lalu,Â
gemericik rinai berirama sendu, diam-diam merasukiku, sedang jiwa dibalut sunyi, mataku berkilau, oleh syahdunya malam ini, mengartikan kehilangan, lalu merubahnya menjadi mimpi,Â
katamu saat itu, "hidup harus berkelanjutan, sedang masa depanmu masih terlalu panjang, aku tak akan lama menduduki semesta, saatnya kau berperan,"Â
rupanya pesanmu mengandung mantra hingga aku selalu mengingatnya, sedang rinai di luar semakin menjadi, untuk melupakan sisa hidup yang kelu,Â
"tak baik mengingat kesalahan, sedang jika kau ingin menjadi baik, jadikanlah pelajaran, karena itu menjadikanmu lebih kuat," pesanmu terngiang, kata-kata itu, bagai lecutan lembut yang berlapis doa, menguar ke arah langit, hingga tembus lapis ke tujuh,Â
sungguh, aku rindu pada tutur indahmu, sedang di tengah rinai nan kian merdu, bayangmu mengelibat datang, hanya serupa rasa, menjelma kabut berhamburan, menghibur hati, seolah aku berada di sisimu, sebab bertahun lalu, aku tak lagi bisa menemuimu, ibu.Â
Semarang, 25 Januari 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H