Pagi yang basah sekelompok merpati terbang biasa mendekat, lalu berkerumun oleh lemparan jagung dari tangannya. Setumpuk koran selesai baca teronggok di meja depan mata. Seperti hari-hari lalu, kesunyian menemani di dalam rumahnya sendiri. Kosong, padahal dulu seramai cuitan anak burung dalam cengkeraman induknya.
Ia bergumam, "Detik ini berjatuhan serupa embun, menetes bening memasuki labirin ingatan, memunguti sisa-sisa kenangan masa lalu. Foto-foto di dinding, kamar-kamar, tempat tidur, meja, kursi, tak lepas dari pandangan mata. Masih sama, meski kini rupanya telah menjadi kenangan. Sekelibat gerakan bayangan masa lalu menghempas.
Ia ambil handphone, lalu bertanya pada seseorang, "Kapan terakhir kau dalam buaian ibumu, nak?"Â
Suara serak menjawab dari sana, "Maaf ibu, tak ada sinyal. Nanti aku menelpon ibu kembali."Â
Betapa kesunyian itu semakin menebalkan rindu. Dari seorang ibu yang pernah melahirkannya. Waktu kecil ditimang-timang, lalu ribuan kilometer jarak membentang, merentang. Ia memegang handphone takut lepas. Berharap, suara serak menelpon balik. Mengais bayangan kenangan, memerih luka dalam dada yang retak.Â
"Belum saatnya, belum saatnya, belum saatnya bertemu." ujarnya sendu.
Semarang, 3 Januari 2020.Â
Puisi ini saya tulis untuk acara EMPU, Pameran Kain dan Serat Pewarna Alam, diselenggarakan oleh Soeratman Foundation (Mbak Leya Cattleya). Pada tanggal 4 Januari 2020 dibacakan oleh Mbak Zubaidah Djohar.
Thanks ya Mbak Ibed, Mbak Leya. Aku padamu... 🤗
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H