Sebelumnya:
Menari sudah menjadi bagian hidupku. Jiwaku ada di tarian. Apalagi sekarang telah memiliki studio menari yang kurintis dari nol. Sanggar Icha. Seolah diriku tak terpisah dari tarian.
Dan pertemuanku kembali dengan Sandi, menambah energi tujuh belas kali lipat dari semula yang kupunya. Semangatku menjadi-jadi. Inspirasi melimpah, hingga bisa menciptakan beberapa tarian dalam kurun waktu yang singkat.
"Aku rasa, kamu butuh meredam energi. Agar tak bosan, Icha." kata Sandi pada suatu hari.
"Kenapa? Bukankah ini justru suatu berkah buatku?"
"Aku khawatir, energimu terkuras, hingga membuatmu sakit. Kamu butuh berlibur. Bagaimana jika kita besok pergi ke pantai? Mumpung libur. Ajak serta Intan."
"Sungguh tanggung, San. Ide tak akan datang dua kali. Jika ia tak disalurkan, akan menguap diterpa angin. Bagaimana jika minggu depan saja?" jawabku.
Memang, ide ini telah ada di pelupuk mata. Sungguh sayang, jika dilepas begitu saja. Tanpa menengok, aku tetap melanjutkan tarian yang kucipta. Kebahagian terjelma, saat tarian ini selesai dan besok akan aku ajarkan saat murid-muridku datang di studio.
Aku tahu, Sandi kecewa. Aku telah membuatnya khawatir. Seringkali aku tidak memenuhi keinginannya untuk pergi berdua. Bukan apa-apa. Aku merasa waktu terbuang percuma hanya untuk sekedar jalan dan makan. Sesekali bolehlah. Asal tak terlalu sering dan tiap minggu.Â