Selama satu bulan penuh. Bagi umat muslim di dunia, dilatih untuk menahan segala hawa nafsu kesenangan dengan berpuasa di bulan Ramadan. Berhasil tidaknya dalam menahan hawa nafsu itu, tergantung dari keimanan. Bahwa selama gemblengan tersebut, paling tidak memacu diri untuk berbuat kebaikan.
Selalu ada dua sisi yang bertolak belakang pada diri manusia. Sisi baik dan sisi buruk. Lebih dominan mana, tergantung pada kita apakah bisa mengendalikannya. Dan dengan Ramadan itu, menginspirasi kebaikan pada diri manusia, agar sisi baik lebih dominan.
Ramadan, bagi saya, entah mengapa membawa suasana yang berbeda. Ketika memasuki bulan ramadan, maka pergantian kebiasaan berbeda dengan hari biasanya. Saat bangun di malam hari, menjalani sahur, kemudian tubuh harus menyesuaikan diri.
Lalu ada keinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bukan berarti dihari lainnya tidak mendekat, tetapi porsinya akan bertambah. Menambah beribadah, kesempatan menabung amalan untuk bekal di akhirat nanti. Bersedekah, menjadi lebih terasa nilai dan hikmahnya.
Aura dari masing-masing umat muslim, menguar keluar, menginspirasi muslim lainnya. Saling mendukung, bahwa bulan Rammadan adalah bulan kebaikan. Saling menjaga hawa nafsu masing-masing, agar tetap terjaga dan tidak menimbulkan bentrok.
Apakah ketika ramadan berlalu, maka semangat ramadan juga harus berhenti begitu saja? Tentu saja tidak. Atau minimal, tetap membawa kebaikan, meskipun tidak sempurna. Karena manusia bukanlah makhluk sempurna. Melakukan kesalahan, itu sudah fitrahnya. Hanya saja apakah ia mau mengubahnya atau tidak.
Ramadan berjanji akan datang kembali di tahun yang akan datang. Semoga bisa berjumpa lagi, dengan semangat yang sama dan lebih baik.
Semangat Ramadan, Semangat Menulis di Kompasiana
Sedikit flashback. Saya bergabung dengan Kompasiana sejak 14 Desember 2013. Lebih dari lima tahun. Tetapi saya tetap terus mencintai Kompasiana karena awal saya belajar menulis (lagi) adalah di sini. Bukan tanpa proses. Seiring dengan waktu dan proses belajar menulis itu, menjadikan saya lebih (merasa) pintar.
Persahabatan saya dengan tuts-tuts keyboard, text yang berjajar rapi di blog Kompasiana, lalu bertemu dan menjalin persahabatan dengan para penulis lain (Kompasianer), membuat saya memiliki wawasan yang sedikit luas dari sebelumnya.