"Bersikaplah baik. Nanti ayahmu pasti akan menuruti permintaanmu."
"Tetapi dari yang sudah-sudah, ayah jarang memberikan sesuatu yang aku inginkan. Apalagi memberi untuk ibu. Mengapa begitu, bu? Apa salah ibu?"
"Sudahlah. Turuti kata ibu. Ibu tunggu di sini. Ibu tak bisa ikut masuk. Ayahmu masih marah pada ibu." kata Runi sambil menahan diri. Hari ini masih puasa. Ia tak bisa bersikap emosi jika ingin puasanya hanya menahan haus dan lapar.
Angannya mengembara pada masa itu. Ketika ia terjerembab dalam kemarahan yang membara. Hingga mengusik ketenangannya dan keluarga.
***
Ini seperti mengerjakan exam. Runi harus menyelesaikannya tanpa salah. Tetapi kehidupan tidaklah sempurna dan manusia tempatnya salah.
"Jika aku tak sempurna, bukankah ini sesuatu yang tak bisa disalahkan?" batinnya. Ia memang merasa  bersalah. Dan ayah dari Ibrahim anak semata wayangnya, belum memaafkannya.
Ia sebenarnya ingin melupakan masa lalu, yang telah membuat hatinya begitu perih. Tetapi ternyata dalam kehidupan, masa lalu akan terus mengikuti dan tak pernah bisa terlupakan. Hanya butuh merelakan, agar masa lalu mengikuti tanpa menganggu. Hal itulah yang masih ia pelajari. Tak mudah memang. Tetapi ia patut bersyukur, karena sekarang dikelilingi orang yang sangat sayang padanya. Ibrahim, juga kakek dan nenek Ibrahim.
Orangtuanya masih merangkul erat. Meski ia telah membuat kecewa mereka. Terutama ayahnya. Yang sejak awal meragukan pilihan hatinya. Ia berpisah dengan Sakti, karena kesalah pahaman. Emosi yang telah membuatnya semakin runyam. Meskipun saat ini ia masih berstatus istri. Tetapi ia tak bisa jika harus tinggal bersama. Ia memilih pulang ke rumah orang tuanya sementara waktu, hingga keadaan memungkinkan untuk kembali.
***