Memang kadang aku menyukai kelakar garingnya itu. Tetapi lebih banyak menyebalkan. Duh. Untung saja aku mengaguminya melebihi segalanya, karena ia yang pandai dan baik hati. Jadi agak menutup rasa sebalku.
Ya, ya. Mengenalnya lebih dari setahun, menjadikanku tahu segala apa yang menjadi kemauannya. Memang pada awalnya membutuhkan penyesuaian yang benar-benar membuat bete dan harus bekerja keras. Agar bisa mengikuti laju kerjanya yang menderas.
Kalau boleh mengagumi, aku ibaratkan ia adalah Bob Hasan. Tetapi tentu saja lebih muda, jauh sekali di bawahnya. Hanya kepandaiannya yang setara. E tapi, saat kuutarakan hal itu kepadanya, tentu saja ia menolaknya.
"Kau berlebihan, Enit. Aku hanyalah manusia biasa. Aku juga seperti kamu, tak pandai-pandai amat seperti dugaanmu. Hahaha...." katanya.
Ia menjawab sambil tertawa, membuatku mati kutu. Huh. Lalu, tentu saja aku manyun. Kata-kata barusan sangat menusukku. Sakitnya tuh di sini.
"Tapi kamu telaten loh, Enit. Sungguh." Dan katanya ini, membuatku luluh.
Coba saja, jika aku boleh memilikinya, pasti akan kupeluk. Ups, tak boleh, ya. Kau bosku, seruku dalam hati.
Aku harus bisa menahan diri agar tak kelepasan bicara dan kelepasan rasa. Bisa dibunuh oleh kak Owen, teman satu kantor, yang mengangumi terlebih dahulu sebelum aku bekerja di kantor ini.
Bicara tentang kak Owen, ia adalah seniorku. Darinya aku tahu semua tentang bosku. Detail, sampai ke titik, tidak ada koma. Bisa dimaklumi jika ia mengagumi bosku. Karena, sepertiku, yang luluh oleh kepandaian dan wajah bayi, juga kebaikan hatinya. Meskipun selamanya tak akan bisa memiliki.
Tentu saja. Dirinya sudah ada yang memiliki. Ingin saja kubunuh kekasihnya, agar aku bisa memiliki tanpa kendala. "Aku lebih pantas untukmu, daripada ia," kataku dalam hati. Hei, mengapa kau berpikiran seperti itu, Enit? Ayolah, bersikap realitas. Kau bukan siapa-siapa. Kau hanya anak buahnya, dan ia bosmu. Runtukku.
***