Hampir lima tahun saya bereksplorasi di rumah besar bernama Kompasiana. Sejak tanggal 14 Desember 2013. Tentu saja bukan waktu yang pendek. Andai ibarat bercinta, sudah mengenal luar dalam. Saya sih mengenal Kompasiana luar dalam, entah sebaliknya. Dan andai sebagai sepasang kekasih, saya semakin cinta. Ciiie... romantis ya? Hehehe...
Awalnya memang bergabung di sini sebagai wadah eksplorasi saya dalam menulis. Saya yang memiliki hobi menulis sejak kecil, ingin meneruskan hobi tersebut tanpa embel-embel apa-apa. Hanya menulis.Â
Pada saat itu, ada teman yang menyarankan menulis di Kompasiana. Pasti dimuat deh. Kalau enggak sih kebangetan. Begitu katanya. Pikiran saya pada saat itu, Kompasiana adalah semacam media berita. Seperti media berita lainnya, misalnya Kompas.com. Dulu saya sering googling Kompas.com untuk mencari berita dan berbagai tips juga resep masakan, karena saya suka mengumpulkan resep siapa tahu berguna di kemudian hari. Padahal cuma mengumpulkannya, eksekusinya entah kapan, hihi...
Lalu, saya pun mulai menulis.
Ternyata menulis di Kompasiana berbeda. Begitu upload tulisan langsung tayang. Kita bertanggungjawab sendiri pada tulisan tersebut. Jika dirasa bagus oleh admin, maka akan mendapat label Highlight bahkan Headline. Bahagianya.Â
Awal pertama, penikmat tulisan ya saya sendiri. Dan sahabat-sahabat yang saya share link tulisan saya. Setelah beberapa waktu berlalu, saya mulai mengenal teman-teman sesama penulis di blog keroyokan ini. Duh, langsung deh saya jatuh cinta pada Kompasiana. Semakin sayang, semakin lengket (kayak perangko?).
Eksplorasi pertama saya adalah tulisan fiksi. Mengasah insting menulis dengan karya fiksi, bukanlah hal yang mudah. Karena menceritakan sesuatu yang tidak kita alami. Meski saya sering memakai tokoh "aku" dalam cerita tersebut, tapi belum tentu saya mengalaminya. Jadi, ssst... ada rahasianya. Mau tahu? Atau mau tahu banget? Hahaha... (Eh, ssst... tapi teman saya bilang, Dik, jadi penulis jangan sombong. Penulis yang baik itu low profile, menghargai karya orang lain, jangan SARA dan mengalir. Nah, disitulah maka saya memegang nasihatnya).
Biasanya saya tak memakai ritual tertentu untuk memulai menulis. Jika ingin menulis, ya menulis saja. Misalnya belum sempat menulisnya karena sedang sibuk, maka biasanya saya membuat draf ringan di handphone. Baru setelah sempat mengembangkannya menjadi suatu cerita yang lebih sempurna.Â
Dan apakah itu mudah? Tentu saja tidak. Banyak kendala yang mengikuti. Maklumlah, sebagai seorang ibu yang macem-macem sibuknya, kadang ide menguap begitu saja ditelan angin, saat tak sempat menyimpannya. Ya sudah, diterima saja. Siapa tahu ide yang sama akan muncul lagi di kemudian hari.
Memang tidak semua karya saya adalah kisah orang lain. Ada beberapa yang merupakan cerita yang ada di kehidupan saya. Misalnya cerita lucu tentang kekonyolan. Tetapi tetap saja saya mengaburkannya dengan memakai kisah orang lain. Malu ah. Kalau bercerita tentang kisah sendiri, gak asik. Karena datar, kurang memiliki liku-liku yang menantang, konflik dan sebagainya. Nggak seru!