Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saat Akupun Menghilang!

23 September 2018   20:38 Diperbarui: 23 September 2018   20:50 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kanda, aku nggak mau, setelah kita menikah, lalu punya anak. Aku nggak bisa bermain lagi sama dayang-dayangku." ujarku sambil cemberut.

Sang Pangeran tertawa lepas.

"Dinda, kalau itu kan bisa di atur. Baiklah, deal ya, kita menikah besok pagi. Tidak bisa ditawar." kata sang Pangeran tegas.

Aku tak bisa membantah dan hanya mengiyakan. Duh, kenapa mulutku jadi ngilu begini ya. Terasa terkunci. Satu hari lagi aku akan menikah dengan sang Pangeran, tentunya dengan pesta yang sangat meriah. Kenapa aku jadi sedih? Bukankah tadi aku menginginkannya?

***

Waktu yang ditentukan tiba. Aku berada di ruang rias keputren, baru saja di rias oleh juru rias terbaik istana kapal besar nan indah bertabur kilau-kilau. Sapuan kuas bedaknya, blush on, mascara, membuatku cantik. Terasa beda, lalu wajahku berubah cantik, saat aku bercermin di kaca. Aku memuji diri sendiri tak habis-habis. Seperti Putri Snow White.

Aku masih saja gelisah, aku masih terkaget dengan keputusan harus menikah dengan sang Pangeran sebentar lagi. Tak ada waktu untuk mengelak. Bahkan dayang-dayangku tak bisa membantu banyak saat aku mengatakan pada mereka untuk melarikan diri saja. Mereka hanya tertunduk dan menggelengkan kepala tanda tak sanggup.

Baiklah, berarti aku harus bertindak sendiri. Melarikan diri. Ya, aku ingin melarikan diri. Tapi bagaimana caranya? Aku berpikir keras.

Saat semua lengah, aku berhasil melarikan diri. Aku berlari, berlari dan berlari. Terengah-engah aku semakin mempercepat langkah agar tak terkejar oleh mereka. Lorong-lorong kapal besar yang indah bertabur kilau-kilau semakin panjang. Aku kecapekan. Aku mulai berkeringat dingin dan hampir putus asa.

***

"Faniii... bangun, sudah siang. Kenapa kamu berkeringat? Seperti ada yang mengejar. Ayo, bangun nak. Sebentar lagi masuk sekolah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun