Mengapa aku begitu bahagia? Sedang lara baru saja hadir. Tetapi aku tak dapat menghindarinya, saat bahagia dan lara datang bersamaan. Lalu, mana yang harus kupilih? Haruskah aku memilih lara yang membawa kenangan masa bahagiaku dulu? Atau bahagia, yang menutup laraku hari ini?
Terus terang, jika aku lebih memilih laraku, memang akan membuatku sedih. Tetapi sedih itu mengingatkanku pada seseorang. Yaitu Dena, bahagiaku di masa lalu.
Dena adalah wanita yang aku cintai. Selamanya. Aku menyebutnya cinta sejatiku. Ia tak akan tergantikan oleh siapapun. Dena adalah Dena. Yang telah memberikanku Kinan. Seorang gadis kecilku, meskipun sekarang tak lagi kecil. Bahkan telah menjadi seorang mama bagi Aurora.
Tetapi...
Dena tak ingin menemaniku. Ia memilih untuk meninggalkanku lebih dahulu. Ia pergi. Ia lebih dicintai oleh-Nya. Aku berharap ia akan menungguku di alam keabadian. Alam di mana aku akan bersamanya. Selamanya. Tak ada yang bisa merubahnya. Aku sangat mencintainya.
Aku tahu, Dena telah menungguku. Di alam keabadian. Sesuai janjinya dulu. Tak akan ada cinta yang lain selain diriku. Hatinya hanya untukku.
Dan kini...
Ketika hadir rasa bahagiaku. Saat dalam menunggu waktu untuk bertemu Dena. Seseorang datang memberikan bahagia. Dengan hati yang tulus. Beserta rasa pengabdiannya. Bahwa ia datang hanya untukku.
Ya, ya. Aku mengakui. Aku bahagia dengan kehadirannya. Meskipun mungkin tak akan bisa sempurna menggantikan kedudukan Dena dalam hatiku. Tetapi ia mampu menutup rasa perihku. Menggantikannya dengan sebuah rasa. Efek rasa suka. Dan bahagia?
Bahagia, karena sejenak menutup laraku. Tentang Dena, yang sedikit terhapus ketika aku berhadapan dengannya. Meski tak sepenuhnya. Masih ada rasa bersalah, bahwa aku merasa, telah meninggalkan Dena. Tapi bukankah keabadian akan menjemputku kelak? Sedang aku masih ada di alam yang berbeda dengannya. Alam yang telah membawa Dena menjauh dariku.